Senin, 13 Februari 2012

EKO WISATA di BANDUNG SELATAN : Kebun Teh Malabar


Udara dingin suatu hari di Perkebunan Teh Malabar, Kabupaten Bandung, Jabar seakan menelisik tebalnya mantel, padahal jam di tangan menunjukan pukul 11 siang. Hamparan tanaman teh nan menghijau pun tidak bisa secara lepas dilihat oleh mata karena kabut tebal mulai turun ke tanah.

Jarak pandang hanya berkisar sepuluh meter kedepan, selebihnya kabut putih nan menghitam menutupi jalanan setapak yang membelah hektaran perkebunan teh tersebut.

Namun suasana tersebut nampaknya tidak menghilangkan keceriaan anak-anak Malabar untuk berlarian , bermain diantara rimbunnya kebun teh. Mereka adalah anak warga setempat yang kesehariannya hidup dari memetik teh dan beternak sapi perah.

Menurut warga setempat, saat musim kering, kabut tidak akan setebal seperti saat musim penghujan. Sejak Desember dan diperkirakan hingga Februari nanti, kabut akan lebih sering turun. Biasanya diawali dengan hujan gerimis.

“Jadi, kalau mau ke Malabar lebih baik pakai mantel tebal atau jas hujan. Sebab hujan datang tidak bisa diprediksi, kadang hujan lalu berhenti sebentar, eh hujan lagi,”ujar Uni, warga pemetik teh dan pemilik beberapa ekor sapi perah ini.

Udara yang sejuk bahkan lebih mendekati dingin memang sangat cocok sebagai tempat untuk perkebunan teh. Malabar yang masuk dalam Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung ini terletak pada ketinggian 1.550 m diatas permukaan laut . Rata-rata suhu mencapai 16 hingga 26 derajat celcius.

Lokasi perkebunan teh ini memang cukup jauh. Setidaknya mencapai 45 kilo meter dari pusat Kota Bandung. Namun bagi warga Jakarta untuk mencapainya dapat menggunakan jalan tol Purbaleunyi dan memilih keluar di pintu tol Kopo atau Buah Batu.

Dari pintu tol Kopo atau Buah Batu, Anda harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dan sesekali dicegat kemacetan karena adanya pasar tumpah. Jika keluar tol Kopo kemacetan akan menyergap di Pasar Kopo, namun selepas itu perjalanan akan lancar hingga ke arah Banjaran. Dipertigaan Banjaran, langsung berbelok arah kanan lalu lurus hingga mencapai Pangalengan.

Sementara dari pintu tol Buah Batu, perjalanan akan tersendat saat anda melintasi Pasar Banjaran. Usai lepas dari kemacetan, perjalanan dilanjutkan dengan berbelok kekiri menuju Pangalengan.

Memasuki Pangalengan, selama perjalanan, mata anda akan segar karena di kanan dan kiri jalan nampak permadani hijau dari perkebunan teh, kebun sayur dan pepohonan.

Rambu penunjuk jalan bagi wisatawan cukup jelas. Namun jika ragu-ragu, jangan takut untuk bertanya kepada warga setempat.

Perjalan menuju lokasi wisata di Bandung Selatan mirip dengan lokasi wisata pegunungan lainnya, yakni berkelok-kelok dan sempit. Meski jalanan sudah mulus, namun Anda wajib untuk berhati-hati.

Saat hendak memasuki perkebunan teh Malabar, Anda akan disambut oleh pintu gerbang masuk yang dijaga oleh seorang hansip. Ia akan menunjukan pilihan, apakah akan berbelok ke kanan atau kekiri. Namun pilihannya sama saja, karena dua arah itu sama-sama kebun teh. Karcis masuknya sangat murah, hanya 2000 rupiah saja.

Bedanya, jika berbelok kiri, maka akan langsung betemu dengan warga masyarakat pemetik teh dan pemerah sapi. Jalan yang ditempuh memang cenderung tidak bagus, banyak berlubang. Mungkin karena lebih sering dilalui truk pengangkut teh ataupun susu dan sapi.

Sementara jika ke kanan, cocok untuk tea walk dan ada penginapan yang bisa disewa oleh wisatawan. Jalurnya jauh lebih mulus karena lebih banyak digunakan oleh para pejabat pengelola Malabar (PTPN VII).

Di tempat ini terdapat Wisma Malabar, yang aslinya dibangun pada 1894 sebagai kantor administratur perkebunan Malabar, sekaligus sebagai rumah tinggal KAR Bosscha. Bangunan lain, Wisma Melati, dibangun pada 1898.

Bangunan itu dulunya rumah tinggal wakil administratur perkebunan. Kini Wisma Melati disewakan untuk wisatawan. Rumah para pemetik teh yang dibangun pada 1890 sebagai rumah asli Sunda tempo dulu, juga masih dipertahankan keotentikannya.

Tak jauh dari Wisma Malabar, terdapat peristirahatan sekaligus makam Boscha. Makam itu terletak di hutan kecil, di tengah-tengah kebun teh. Kondisinya terawat, dikelilingi pagar, dan tanaman coleus warna-warni menghiasi halamannya.

Kini kediaman Meneer Bosscha itu telah diperbaraui lagi dan ruangannya ditambah hingga menjadi 11 kamar. Dan oleh oleh PTPN VIII Wisma Malabar dan Wisma Melati disewakan bagi para wisatawan yang ingin berkunjung dan ingin menginap di daerah ini.

Harga sewa kamar di wisma Malabar lumayan murah. Untuk kamar dilantai atas harga sewanya adalah 200 ribu hingga 400 ribu perharinya tergantung weekdays, weekend atau saat libur nasional. Harga tersebut sudah termasuk sarapan pagi untuk 2 orang.

Sementara bagi yang datang dalam jumlah banyak atau berombongan lebih baik menyewa di Wisma Melati karena dapat menampung lebih dari 40 orang. Ada empat kamar didalamnya yang dapat diisi tempat tidur secara lesehan. Harga sewanya antara 350 ribu hingga 450 ribu per hari.

Berkunjung ke Malabar memang lebih baik menginap. Karena selain perjalannya yang cukup jauh, juga anda akan lebih puas menikmati suasana dinginnya puncak Kabupaten Bandung itu. Esok paginya anda dan keluarga dapat berjalan kaki menyusur kebun teh. (tea walk) atau mengunjungi peternakan sapi perah. Pagi hari, terasa nikmat minum susu murni yang panas di antara timbunya teh Malabar.

Melihat Penangkaran Kura-Kura di Ujung Genteng


Awal tahun adalah saat yang tepat untuk melihat penyu hijau (Chelonia mydas ) bertelur. Dalam siklus bertelur, hewan lucu ini akan bertelur pada bulan November hingga Maret, menyeusaikan dengan kondisi alam.

Pada bulan-bulan tersebut, angin laut sedang tidak bersahabat bagi manusia dan lebih memilih untuk menghindari laut. Kondisi inilah yang membuat penyu hijau akan menuju ke pantai untuk bertelur. Maklum, hewan ini sangat pemalu. Saat sudah berada di pantai untuk bertelur mendadak akan kembali ke laut jika melihat cahaya ataupun suara manusia. Sehingga memang gampang-gampang susah untuk dapat menyaksikan penyu bertelur.

“Biasanya kita tunggu dulu sampai mereka menggali dan mengeluarkan telur. Kalau sudah bertelur mereka tidak perduli jika ada yang datang,” ujar Abah Janawi, salah seorang penjaga di lokasi konservasi penyu Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jabar belum lama ini.

Abah yang sudah belasan tahun menjadi penjaga di penangkaran tersebut mengatakan penyu-penyu akan datang sendiri kelokasi penangkaran yang disiapkan. Mereka sepertinya sudah hafal lokasi bertelur yang aman. Meski demikian, ujarnya, banyak juga penyu yang bertelur di pasir putih sepanjang pantai Pangumbahan.

“Kalau tidak waspada maka telur-telur penyu itu akan hilang diambil warga. Jadi kalau malam kita patroli untuk memantau telur dan akan dipindahkan di penangakaran dalam lubang buatan.”

Harga telur yang mahal yakni 5 ribu per buah membuatnya menjadi buruan paling menguntungkan bagi warga sekitar. Terlebih saat ini kondisi pantai yang sedang ganas membuat nelayan tidak bisa melaut sehingga mencari penghasilan lain. Dalam satu lubang minimal akan berisi 100 buah telur. Sehingga dari satu lubang pemburu telur akan mendapatkan penghasilan hingga 500 ribu.

Selain gangguan manusia, hewan liar khususnya babi hutan sering menjaranh sarang telur penyu hijau. Bahkan dilokasi penangkaran pun sering kali didatangi hewan liar tersebut. Lokasi penagkaran memang sangat terpencil, berada di wilayah Ujung Genteng, atau pantai selatan Jabar. Lokasinya dikelilingi oleh hutan tanaman bakau dan perkebunan yang dikelola PTPN.

Upaya melestarikan penyu sebenarnya sudah sering dilakukan oleh pemerintah setempat, antara lain dengan mendirikan pusat penangkaran penyu sejak Desember tahun 2009 oleh Dinas Kelautan Kabupaten Sukabumi. Kini setelah berjalan hampir tiga tahun, upaya tersebut sudah membuahkan hasil.

Lokasi konservasi penyu hijau di pantai tersebut kini sudah mulai dikenal masyarakat luas dan menjadi daya tarik wisatawan. Meski diakui untuk mencapai lokasi penangkaran , turis harus berusaha ekstra. Jalur transportasi menuju lokasi masih sangat buruk. Terlebih pada saat musim penghujan dan angina kencang, akses jalan menuju penangkaran sering tidak bisa dilalui karena terputus banjir dan air laut yang naik ke darat.

Namun bagi pangunjung, sulitnya mencapai lokasi akan terbayarkan dengan menyaksikan langsung penyu bertelur dan melepaskan tukik (anak penyu) ke lautan.

Seperti dikatakan penjaga kawasan konservasi, waktu yang tepat untuk menyaksikan langsung penyu bertelur adalah saat malam hari. Karena penyu adalah hewan pemalu, maka ia akan menunggu saat hari gelap dan sepi untuk naik ke pantai dan bertelur.

Sejak Desember, ratusan induk penyu sudah melepaskan telurnya di pantai. Sebagian kini sudah disimpan dilokasi penetasan. Satu lubang penetasan berisi lebih dari 100 telur. Hal itu dapat diketahui dari patok-patok yang dipasang di dekat lubang. Patok dari kayu itu ditulis jumlah telur yang ada di lubang tersebut.

Saat yang tepat untuk melihat penyu bertelur adalah antara pukul 12 malam hingga menjelang fajar (subuh). Namun tidak semua pengunjung akan beruntung dapat melihat langsung proses tersebut. Tidak ada cahaya yang diperbolehkan terlihat di lokasi bertelur sehingga hanya penjaga konservasi yang akan tahu dimana ada penyu sedang mendekat ke pantai untuk bertelur.

Bukan hanya gelap gulita, pengunjung juga harus melawan dinginnya cuaca, kerasnya terjangan angin laut dan hujan yang setiap saat dapat turun tiba-tiba. Sehingga jika tetap memaksa ingin melihat penyu bertelur, anda harus mempersiapkan fisik dan membawa baju tebal atau jas hujan. Membawa makanan dan minuman sebagai pengusir lapar juga diperbolehkan asal tidak membuang sampahnya secara sembarangan.

Menyaksikan penyu bertelur memang lebih cocok bagi pengunjung dewasa, namun tidak usah khawatir bagi pengunjung anak-anak. Anak-anak pasti akan suka melihat anak penyu yang lucu-lucu.

Setiap sore, sekitar pukul 18-19, pihak pengelola konservasi akan melepaskan anak penyu kelautan. Sekali pelepasan dapat mencapai 500 ekor lebih.

“Tukik dilepas saat menjelang malam. Ini dilakukan agar mereka bisa selamat hidup dilaut. Kalau dilepaskan siang hari dijamin semuanya akan disantap predator. Disini banyak ikan besar dan burung pemakan ikan,” ujar Abah.

Nah, jika ingin melihat lucunya penyu hijau langsung di lautan, anda dapat mengunjungi Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jabar selama bulan Januari hingga Maret. Untuk mencapai lokasi tersebut lebih baik menggunakan kendaraan dengan roda besar atau tinggi. Tidak disarankan menggunakan city car. Tidak usah khawatir, jika kendaraan tidak bisa mencapai lokasi, anda bisa menggunakan jasa ojek dengan ongkos sekitar 30-50 ribuan yang dapat disewa seharian penuh.

Vihara Tertua di Bandung, Kelenteng Satya Budhi



Vihara atau sering disebut kelenteng atau klenteng setiap kali tahun baru China selalu terlihat berbenah. Demikian pula dengan sejumlah kelenteng yang ada di Kota Bandung. Salah satunya adalah Kelenteng Satya Budhi yang berlokasi di Jalan Kelenteng No 223 A, Kota Bandung.

Salah seorang pengurus kelenteng menyebutkan bahwa kelenteng ini merupakan yang tertua di Jawa Barat (Jabar). Usianya ditaksir sudah diatas 125 tahun. Di kelenteng tersebut nampak prasasti yang menceritakan pembangunan kelenteng dan kegiatan renovasinya. Ditulis kelenteng dibangun pada abad ke-19 tepatnya tahun 1896.

Pada awalnya kelenteng tidak bernama Satya Budhi namun Xie Tian Gong. Perubahan nama dilakukan sejak masa orde baru yang pada saat itu memang anti dengan nama-nama yang berbau bahasa China. Nama Satya Budhi pun dipakai hingga kini.

Selain sebagai tempat berdoa bagi warga tionghoa atau keturunan, kelenteng tersebut juga sangat indah tampak dari luar. Sehingga tidak jarang sering pula dikunjungi wisatawan, khususnya dari China.

Menuju ke kelenteng tersebut sangat mudah, karena terletak di tengah Kota Bandung. Jaraknya hanya sekitar 50 meter dari persimpangan Jalan Kelenteng dengan Jalan Sudirman Kota Bandung. Kawan ini sering disebut sebagai Pecinan, karena memang banyak dihuni oleh warga tionghoa.

Kelenteng nampak cerah dengan dominasi warna merah, sejak gapura gerbangnya. Memasuki gerbang kelenteng, sebuah Patung Dewa Guan Gong yang menunggang kuda sedang mengangkat kaki depan akan menyambut. Patung sebagai simbol perlindungan dari dewa bagi siapapun yang hendak masuk kedalam kelenteng. Semerbak wangi dupa ikut menyambut tamu.

Sebelum masuk kedalam vihara tersebut, nampak gambaran mural yang indah menceritakan dewa-dewa warga China seperti diakui oleh tiga agama yakni Konghucu, Tao, dan Budha. Nampakpanji-panji yang dibawa yang mengisyaratkan kebajikan.

Puncak atap vihara juga khas, yakni dihiasi dengan ukiran atau patung ular naga besar.

Saat memasuki lokasi didalam kelenteng, ratusan lilin yang ditata rapi di bagian kanan dan kiri nampak menyerupai bukit kecil. Sementara beberapa warga nampak khusuk berdoa, duduk sambil mengatupkan telapak tangan (mirip bertapa).

Meski cat kelenteng nampak cerah dengan warna merah dan putih yang dominan, didalam kelenteng suasanya langsung berubah. Suasana hening dan damai sangat terasa. Lalu lalang pengunjung untuk berdoa atau bersedekah tidak menimbulkan keributan. Elemen interior vihara nampakseimbang, kaya akan detail dan warna serta bernilai estetis oriental, mengingatkan saya pada filosofi Tao, Yin-Yang, tentang penting-nya keseimbangan dalam kehidupan.

Kelenteng ini menjadi yang paling besar di Bandung. Pada bagian tengahnya terdapat sebuah altar yang lebih mirip aula tempat peribadatan sangat luas. Di bagian depan altar nampak patung dewa-dewi dari giok. Nampak pula tempat pembakaran kertas uang di masing-masing sisi yang menyerupai Pagoda.

Menilik dari berbagai literature, kelenteng yang sudah berusia 125 tahun ini ternyata memiliki sejarah berliku untuk tetap dipertahankan keberadaannya.

Di penghujung abad ke-19 tepatnya tahun 1896, Golongan Timur Asing etnis Tiong Hoa yang bertempat di lingkungan Pecinan Kota Bandung mendirikan sebuah kelenteng pertama di Bandung. Arsiteknya sengaja didatangkan dari China.

Pada awalnya Sheng Di Miao difungsikan sebagai tempat beribadah bersama. Lalu pada tahun 1917, kelenteng ini dibangun ulang dan berganti nama menjadi Kelenteng Xie Tian Gong yang berarti Kelenteng Masyarakat. Kini lebih dikenal sebagai Vihara Satya Budhi.

Dan saat pergantian tahun baru China, kelenteng ini akan dipadati oleh warga tionghoa, yang datang dari Bandung, Jakarta, Cirebon hingga Semarang. Pada malam tanggal 22 dan 23 Januari mendatang kelenteng ini akan dipadati ratusan pengunjung yang hendak melewati pergantian tahun China atau Imlek atau Gong Xi Fa Cai.

Wisata Belanja di Kampung Batik Trusmi, Cirebon


Pamor kain batik kini semakin naik. Yang mengenakan pakaian ini bukan lagi orang berumur namun kaum muda pun sudah banyak yang menyukainya. Di Jawa Barat (Jabar) ada beberapa sentra produksi batik yang sudah dikenal hingga ke luar negeri. Salah satunya adalah sentra batik Trusmi yang berlokasi di Jalan Raya Plered Kabupaten Cirebon.

Trusmi adalah nama sebuah kampung batik yang sudah puluhan tahun menjadi sentra produksi batik tradisional. Meski saat ini produksi batik tradisional sudah mulai bergeser dengan produksi secara modern dan masal melalui mesin printing, produksi batik tulis atau batik cap (cetak) di Trusmi masih terus terpelihara.

Kisah membatik desa Trusmi berawal dari peranan Ki Gede Trusmi, salah seorang pengikut setia Sunan Gunung Jati ini mengajarkan seni membatik sembari menyebarkan Islam. Sampai sekarang, makam Ki Gede masih terawat baik, setiap tahun dilakukan upacara cukup khidmat, upacara Ganti Welit (atap rumput) dan Ganti Sirap setiap empat tahun.

Batik Trusmi berhasil menjadi ikon batik dalam koleksi kain nasional. Batik Cirebon sendiri termasuk golongan Batik Pesisir, namun juga sebagian batik Cirebon termasuk dalam kelompok batik keraton.

Hal ini dikarenakan Cirebon memiliki dua buah keraton yaitu Keratonan Kasepuhan dan Keraton Kanoman, yang konon berdasarkan sejarah dari dua keraton ini muncul beberapa desain batik Cirebonan klasik yang hingga sekarang masih dikerjakan oleh sebagian masyarakat desa Trusmi diantaranya seperti Mega Mendung, Paksinaga Liman, Patran Keris, Patran Kangkung, Singa Payung, Singa Barong, Banjar Balong, Ayam Alas, Sawat Penganten, Katewono, Gunung Giwur, Simbar Menjangan, Simbar Kendo dan lain-lain.

Mungkin karena tetap memegang pakem tradisonal, Trusmi masih tetap bertahan dalam memproduksi batik. Meski kekhawatiran penerus perajin batik didaerah ini mulai muncul seiring minat pemuda didaerah yang lebih memilih meninggalkan kampung batik untuk merantau.

Untuk menuju Trusmi sangat mudah. Perjalanan menggunakan kendaraan umum, bus kota dari arah Bandung atau Jakarta semuanya akan melintasi sentra batik Trusmi tersebut. Memang papan nama sebagai petunjuk memasuki kampung ini tidak terlalu mencolok, hanya papan iklan penunjuk lokasi dari seng berukuran sekitar tiga meter persegi saja.

Tiba di perempatan jalan Plered Cirebon, petunjuk lebih mudah bagi yang belum pernah menyambangi tempat ini adalah adanya pasar tumpah, Pasar Plered. Pasar yang selalu ramai dan sering membuat kemacetan itu menjadi pemandangan lain bagi para wisatawan yang hendak berkunjung ke Trusmi. Biasanya jalan Plered di sekitar pasar tumpah itu akan macet pada pukul 8 hingga 10.

Memasuki kampung batik ini bisa melalui pintu utama Jalan Buyut Trusmi atau melalui Jalan Panembahan, sekitar 200 meter dari perempatan jalan Plered. Aroma lilin cair yang terbakar sangat terasa saat berada disini. Sejak memasuki tempat ini, mulai dari rumah pertama nampak beragam baju dan kain batik dipamerkan. Seluruh rumah penduduk disini nampak menjadi show room dan produksi batik. Mulai dari hanya rumah kecil sederhana hingga rumah besar yang memasang nama toko.

Jalannya memang cukup sempit, terlebih lahan parkir yang disediakan juga tidak terlalu luas. Sehingga kebanyakan pengunjung yang hendak berbelanja memarkirkan kendaraan di salah satu toko yang lahan parkirnya sedang kosong, setelah itu mereka berjalan-jelan keluar masuk rumah atau toko batik di Trusmi.

Meski demikian, berkeliling di kampung batik Trusmi dengan panjang jalan sekitar 1,5 km itu terasa sangat menyenangkan terlebih bagi yang hobi belanja baju. Selain dimanjakan dengan berbagai produk batik mulai dari yang berharga murah sekitar 50 ribuan hingga yang bernilai jutaan rupiah perbuahnya, pengunjung juga diperkenankan untuk masuk lebih dalam kedapur pembuatan batik. Ibu-ibu berusia lanjut akan dijumpai di bagian belakang shoow room , serius dengan pekerjaannya menggambar motif batik dengan canting.

Beberapa lokasi yang biasanya sering dikunjungi adalah Batik Katura, yang berlokasi persis didepan kantor dan show room koperasi batik. Disini, pemiliknya yakni Katura selalu menerima tamu dengan tanagn terbuka, termasuk menyediakan waktu untuk mengajari cara membatik.

Batik Katura hanya memproduksi batik tulis. Sehingga harganya pun lumayan mahal namun kualitasnya sangat bagus. Sehingga tidak jarang, tempat ini sering didatangi turis asing terutama dari Jepang.

Lokasi lain yang juga sering dikunjungi adalah Kampoeng Batik EB di Jalan Penambahan milik perajin batik Edi Baredi. Tempat ini sengaja dibuat seperti one stopshooping batik. Sebab selain menjual batik, lokasinya nyaman untuk beristirahat sejenak setelah menempuh perjalanan sepanjang pantura.

“Kalau ibunya belanja batik, suaminya bisa belanja kuliner sementara anak-anaknya bisa bermain disini,” ujar Edi belum lama ini.

Berbagai upaya memang dilakukan oleh para pengelola atau perajin batik di Trusmi untuk menarik minat pembeli. Sebab menurutnya pembeli batik tidak hanya berasal dari kota Cirebon dan sekitarnya, namuan juga berasal dari Jakarta, Bandung atau Semarang sehingga harus diberikan pelayanan yang bagus.

Selain dua tempat tersebut, ada banyak tempat lainnya yang juga dapat didatangi satu persatu untuk mendapatkan corak batik megamendung, corak khas batik Cirebon. Sebab berbelanja disini memang lebih baik tidak terburu-buru untuk mendapatkan batik yang bagus namun harga bisa ditawar.

Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda



Bosan berliburan ke Bandung hanya untuk menikmati suasana belanja di factory outlet atau menikmati kuliner, tidak ada salahnya anda mencoba untuk menikmati udara yang sejuk di Taman Hutan Raya atau disebut dengan Tahura Djuanda.

Jika banyak yang menyatakan Bandung sudah tidak sejuk dan adem lagi, suasana di Tahura paling tidak mengekspresikan kondisi Kota Bandung tahun 1980-an. Udara yang masih bersih, pohon-pohon besar nan hijau dan kicauan burung membuat siappun akan betah berlama-lama disini.

Terletak di sebelah utara Bandung, lebih tepatnya masuk dalam wilayah Kecamatan Cicadas dan Kecamatan Lembang kabupaten Bandung Barat. Dengan luas 590 hektare ini dulunya dikenal dengan nama Taman Wisata Curug Dago hingga ditetapkan oleh Presiden Soeharto dengan nama Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, sekitar tahun 1980.
Tahura mudah dicapai karena berada di jalan Dago yang menuju ke arah lembang. Lokasinya tidak terlalu jauh dari persimpangan jalan Dago Giri, atau sebelum belokan ke arah Dago Resort. Sebuah papan nama di pinggir jalan akan menuntun pengunjung ke lokasi hutan kota ini. Jalur lain yang bisa ditempuh adalah dari arah jalan Cikutra atau Pahlawan Kota Bandung.

Ada dua pintu masuk yang disediakan bagi pengunjung. Pengunjung yang datang menggunakan mobil diarahkan untuk masuk melalui pintu utama. Sementara bagi yang menggunakan motor atau sepeda selain dapat masuk melalui pintu utama juga disarankan masuk melalui pintu dua. Karena pengelola membolehkan pengunjung masuk menggunakan motor atau sepeda, karena lokasi wisata yang ada di dalam hutan tempatnya cukup berjauhan.

Pengunjung yang akan masuk harus membeli tiket seharga 7.500 rupiah per orang. Jika membawa motor ada tambahan 5 ribu sementara mobil 10 ribu, plus biaya asuransi 5 ratus rupiah. Pengunjung cukup sekali membayar karena tidak ada biaya tambahan lain saat menikmati sejumlah tempat tujuan wisata di dalam Tahura Djuanda.

Untuk menjelajahi kawasan Tahura Djuanda diperlukan waktu dua hingga tiga jam dengan berjalan kaki. Tidak usah khawatir anda akan kehausan atau kecapaian, sebab didalam lokasi ada beberapa tempat untuk “ngaso” berupa warung-warung lesehan. Warung menyediakan beragam minuman atau makanan kecil termasuk jagung bakar. Jadi jika sudah lelah berkeliling, makan jagung bakar sembari menikmati pemandangan hutan pinus akan menjadi penutup wisata yang cukup mengasyikan.

Tahura Djuanda merupakan taman terbesar yang pernah dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda berbentuk hutan lindung. Saat awal dibangun dinamakan Hutan Lindung Gunung Pulosari. Perintisan taman ini dilakukan sejak tahun 1912 bersamaan dengan pembangunan terowongan penyadapan aliran sungai Cikapundung yang kemudian dinamakan sebagai Gua Belanda.

Nama Tahura Djuanda sendiri diambil dari tokoh yang bernama Ir. R.Djoeanda Kartawidjaja yang ikut andil dalam pengembangan hutan tersebut. Sejak tahun 1960-an, Tahura Djuanda mulai ditanami dengan tanaman koleksi pohon-pohonan yang berasal dari berbagai daerah. Kerjasama pembangunan Kebun Raya Hutan Rekreasi tersebut melibatkan Kebun Raya Bogor menanam koleksi tanaman dari di Bogor.

Nama tempat ini terus berubah diantaranta pernah dinamakan Taman Wisata Curug Dago. Nama resmi Taman Hutan Raya baru dipakai tahun 1985 sejak diresmikan Presiden Soeharto.

Selain menjadi etalase tanaman pinus dan kaliandra, sejumlah fauna juga terdapat disini seperti monyet dan beragam jenis burung. Tahura juga memiliki sejumlah air terjun atau dalam bahasa setempat disebut curug. Antara lain Curug Lalay, Curug Kidang, Curug Koleang dan Curug Omas.

Di Tahura juga terdapat dua buah gua yakni disebut Gua Belanda dan Gua Jepang. Dua gua ini menjadi daya tarik utama bagi para pengunjung yang datang ke tempat ini.

Tahura kini menjadi paru-paru Bandung dan sudah ditetapkan sebagai hutan kota internasional melalui konferensi TUNZA yang berlangsung di hutan Babakan Siliwangi, Kota Bandung, akhir tahun 2011 lalu.