Senin, 19 November 2012

Secco Guitar, Hand Made asli Bandung

Gitar merupakan alat musik yang penting dalam bermusik. Bahkan hanya dengan iringan gitar saja, sudah cukup bagi artis top untuk menyapa penggemarnya. Diakui oleh sejumlah artis musik, mendapatkan gitar dengan nada yang pas dan sesuai keinginan sangat sulit. Untuk mendapatkannya, bahkan harus berburu hingga keluar negeri mencari merek-merek gitar terkenal internasional. Padahal kualitas suara gitar tidak hanya ditentukan oleh merek. Namun bagaimana proses sebuah alat musik berdawai ini di produksi. Di Kota Bandung, produksi gitar dengan kualitas suara “yahud” dapat dijumpai. Gitar ini dibuat “hand made” bukan pabrikan besar. Merek yang dipakai adalah Secco. Menurut pemilik usaha ini, Yosefat Wenardi, Secco ini memiliki arti upaya meningkatkan kualitas musik gesek. Secco berlokasi di Jalan Tanjung Nomor 13 Kota Bandung, Jabar. Sebuah workshop di komplek perumahan elit ini sudah mulai membuat gitar hand made sejak tahun 1999. Disini, bukan hanya kualitas suara yang nomor satu, namun bentuk gitarnya pun merupakan salah satu yang terbaik. Tentunya karena menggunakan bahan-bahan impor khususnya untuk kayu solid sebagai badan gitarnya. Wenardi kini sudah dapat disejajarkan dengan maestro pembuat gitar atau Luthier. Sebutan Luthier ini disandang karena ia menjaga kualitas gitar melalui pembuatan gitar hand made. Lulusan Teknik Mesin ITB ini pada awalnya tidak tertarik dengan bisnis pembuatan gitar karena memang jauh dari ilmu yang didapat dari bangku kuliah. Namun setelah perkenalannya dengan pembuat gitar Bandung, Ki Anong, ia mulai menggeluti bisnis ini. Baru pada tahun 2000, Wenardi membuka workshop di Jl. Tanjung Nomor 13 Kota Bandung. Disinilah ia mulai membuat gitar dengan merek Secco. Produk gitar Secco buatan Wenardi dan Ki Anong semakin harum di kalangan pecinta gitar di Indonesia. Jenis gitar yang fokus diproduksinya mulai dari classic guitar, folk guitar, dreadnought style, double/triple O, travel guitar dan sesekali memproduksi biola. “Pada awalnya kami menjual gitar termurah 400 ribuan, saat itu harga dianggap mahal. Namun karena kualitas gitar buatan Secco memang bagus, banyak dibeli.” Hal itu membuat ia berfikir, kualitas suara pada gitar menjadi hal utama dibandingkan dengan merek. Ia pun mulai selektif membuat gitar, kecuali jika ada pesanan. Bahan bakunya pun diperhatikan sebaik mungkin. Sehingga harga yang ditawarkan cukup tinggi. Agar kualitas gitar buatannya semakin ciamik, ia pun belajar ke luar negeri, yakni ke negara penghasil gitar berkualitas dunia seperti di Kota Madrid, Spanyol. “Saya sangat tertarik ketika melihat langsung pembuatan gitar di Madrid. Di sana gitar sudah menjadi sebuah kebudayaan. Hampir setiap rumah, mereka serius memproduksi gitar,” katanya. Sepulang dari Eropa, semangat Wen terus terpacu untuk memproduksi gitar-gitar berkualitas. Tidak perlu iklan di koran atau selebaran kertas untuk memasarkannya. Ternyata dari kepuasan pengguna Secco, nama merek ini semakin berkibar. Bahkan tidak hanya di dalam negeri saja tetapi juga ke luar negeri. Bukan hanya masyarakat pecinta gitar saja yang mulai mengoleksi, namun juga artis nasional seperti Toh Pati, Iwan Fals, Doni Suhendra dll. Musisi top itu menyukai produk Secco karena menggunakan bahan baku berkualitas nomor satu , seperti African black wood, snake wood dan zebra wood. Menurut Wenardi, kualitas dari bahan kayu tersebut sangat cocok untuk menghasilkan suara yang bagus, kuat dan memiliki karakter tertentu. “Biasanya untuk pesanan khusus 70 persen bahan baku impor. Tapi untuk produksi biasa kebalikan, bahan baku lokal yang 70 persen.” Bahan lokal dari Indonesia seperti Indonesian rose wood, mahogany dan Makasar ebony juga dipakai. Karena merupakan produk hand made, maka menurutnya kapasitas produksi gitar sekitar 10 buah per bulan. Ia bahkan tidak segan untuk membuat sendiri pesanan dari artis atau tokoh tertentu. Karena pesanan khusus itu maka harga gitar Secoo ini juga tergolong fantastis. Ia menyebutkan karena menggunakan bahan impor maha gitar dijual dengan dollar. Untuk custom atau pesanan minimal 2500 dolar AS. Biasanya pemesanan dilakukan melalui media internet, www.seccoguitar.com, namun cukup banyak juga pembeli yang datang ke workshopnya. “Membuat alat musik gitar terkait dengan rasa, inilah yang membuat Secco berbeda.”

Senin, 30 April 2012

Kampung Seni Manglayang

Kampung Seni Manglayang Jawa Barat (Jabar) banyak memiliki lokasi wisata budaya yang menjual suasana kampung yang asri. Di Bandung sendiri ada beberapa lokasi wisata kampung atau sering disebut segagai Kampung Seni. Seperti Kampung Seni Manglayang di wilayah Timur Bandung dan Kampung Kerajinan Wayang Golek di Bandung Selatan. Lokasi kampung seni ini sekitar 3 kilometer dari jalan raya Bandung- Cileunyi. Kampung Seni Manglayang terletak di tengah pemukiman yang padat , Komplek Bumi Cinunuk Indah, Kampung Cibolerang, Cinunuk, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jabar. Meski berlokasi agak tersembunyi, untuk mencapainya mudah saja. Sebab masyarakat di sekitar sudah mengetahui kampung seni tersebut , jadi jika salah jalan maka warga setempat akan memberikan petunjuk arah yang benar. Jalan masuknya tidak jauh dari rumah makan Ponyo atau sebuah mini market yang berada di Jalan Cinunuk. Kampung Seni Manglayang dibuat secara mandiri oleh warga setempat bernama H. Kawi (51). Ia membangun sebuah lokasi yang asri itu sejak tahun 2005, namun baru resmi beroperasi bagi masyarakat umum pada tahun 2007. Saat itu kampung seni itu diresmikan oleh Gubernur Jabar saat itu, Danny Setiawan. Pada tahun-tahun awal beroperasinya kampung seni, banyak agenda kegiatan yang berlangsung di tempat tersebut. Mulai dari seni benjang, wayang golek atau beragam kegiatan dan perlombaan seni tradisional Jabar. Bahkan Kampung Seni Manglayang sering dijadikan venue bagi penampilan seniman tradisi bukan hanya dari Jabar namun dari Jawa Tengah atau Jogjakarta. Namun setelah memasuki tahun 2009 hingga saat ini agenda kegiatan di tempat tersebut mulai berkurang. Agenda kegiatan yang biasanya diselenggarakan rutin setiap pekan kini jarang ada. Paling tidak satu bulan sekali ada pagelaran, itupun hanya dihari sabtu atau minggu. Diakui oleh pengurus kampung seni, akibat mulai jarangnya pagelaran, maka sejumlah fasilitas di tempat tersebut seakan kurang terurus. Terlihat banyak saung yang bocor, reyot bahkan beberapa hampir ambruk. Sehingga pengunjung sering menyatakan kurang nyaman jika bertandang ke tempat ini. Harapan pengunjung yang datang ke tempat ini biasanya ingin menikmati beragam pertunjukan seni. Namun karena tidak adanya agenda atau jadwal pasti, terkadang saat datang tidak ada kegiatan atau sepi. Padahal di tempat ini seni seperti seni religi, yaitu memuji Tuhan dalam bahasa Sunda, lalu ada seni pastoral, yaitu memelihara hewan ternak menjadi seni unik yang tidak pernah diselenggarakan dilokasi lain. Kawi mengatakan karena tidak ada agenda rutin, maka bagi para pengunjung khususnya rombongan yang akan datang harus memberitahu terlebih dulu, hal itu agar pengelola mempersiapkan berbagai kesenian yang diminta. Untuk masuk ke Kampung Wisata Manglayang tidak dipungut biaya tiket alias gratis. Namun jika ingin melihat pegelaran seni tentunya ada biaya, namun itu tidak mengikat. Inilah yang membuat berbagai pertunjukan dan pelatihan seni di Kampung Seni dan Wisata Manglayang ini menjadi daya tarik kuat pengunjung. Sebagian pengunjung berasal dari warga Cibolerang, masyarakat Jawa Barat, Jawa Tengah, Kutai Kalimantan, dan sebagian lagi dari wisatawan asing, yakni Afrika, Jepang, Amerika, Cina, Singapura, dan Malaysia. Kawi mengatakan banyak warga yang meluangkan waktu seusai kerja untuk berlatih menabuh alat musik tradisional dan mementaskan seni sehingga bisa dilihat pengunjung. Tempat ini cukup luas karena dibangun diatas lahan seluas 1,8 hektare. Saat masuk kedalam Anda akan disambut oleh rimbunnya pepohonan serta saung yang dibangun dari anyaman bambu. Sehingga suasananya terasa damai dan tenteram. Membuat anda ingin berlama-lama di dalam kampung ini. Kampung Seni Manglayang memang tempat yang asri. Ada sekitar 10 saung rumah panggung yang berdinding bambu. Saung-saung itu diberinama dalam bahasa Sunda sesuai dengan fungsinya. Misalnya saung saung untuk menyimpan alat musik dinamakan Saung Lodang. Lalu Saung Kamonesan, sebuah saung dua tingkat yang didalamnya terdapat benda-benda, seperti topeng dan wayang golek. Lalu di sebuah saung bernama Saung Wreti, terdapat pula benda-benda yang lebih berupa peralatan rumah tangga, seperti gentong, caping, dan kentongan. Ada pula bangunan berupa lumbung padi bernama Saung Pawon, dimana di saung itu terlihat beragam peralatan dapur tradisional. untuk memasak. Menurut Kawi, penataan ruang sengaja dibuat sebagai lokasi edukasi bagi pecinta seni dan budaya tradisional Jabar, khususnya seni budaya dibawah kaki Gunung Manglayang. Di kawasan kaki Gunung Manglayang memang terdapat beragam bentuk seni dan budaya. Beberapa di antaranya, seperti Wayang Catur, Benjang, Reak, Genjur, dan Ketuk Tilu Manglayang. Sehingga selain ada saung yang digunakan sebagai tempat menyimpan peralatan seni atau untuk menginap tamu, dibuat pula dua panggung utama yang lokasinya saling berhadapan. Panggung itu dibuat untuk menampilkan berbagai gelaran seni. Selain itu ada pula ruang kecil untuk pertandingan benjang. “Latihan di sini berdasarkan pada kebiasaan warga sekitar saja. Biasanya sehabis beraktifitas pada siang hari, mereka (warga) datang ke sini. Lalu mulai latihan apa saja, mulai dari nabuh gamelan, atau menari,” kata Kawi. Meski terlihat kurang terurus, namun Kampung Seni Manglayang menjadi salah satu lokasi yang pantas bagi Anda untuk menikmati rimbuna pepohonan dan suasana “ngampung di Bandung”.

Minggu, 15 April 2012

Menikmati Pagi di Puncak Ciumbuleuit Utara (Punclut)


BANDUNG berasal dari kata bandungan, yang artinya bendungan atau tempat berkumpulnya air, seperti halnya sebuah mangkuk yang sangat besar. Untuk dapat membuktikan bahwa Bandung adalah sebuah mangkuk raksasa, maka kita harus melihatnya langsung di puncaknya Bandung, Punclut.

Punclut, oleh penduduk sekitar menjadi sebuah nama pendek dari puncaknya Ciumbuleuit bagian paling Utara. Menyusuri jalan raya Punclut, maka kita seakan-akan berada pada pinggiran mangkuk raksasa. Dari sini kita dapat melihat pemandangan Bandung kota dengan leluasa.

Punclut kini sudah menjadi salah satu lokasi wisata unik yang selalu dipenuhi wisatawan lokal ataupun dari luar kota terutama setiap Sabtu malam dan Minggu pagi. Saat Sabtu malam, banyak pengunjung yang datang untuk nongkrong di saung lesehan yang banyak terdapat di sepanjang jalan, menikmati makan malam dengan menu makanan Sunda sederhana sambil menyaksikan kerlap-kerlip hamparan lampu Kota Bandung dari atas Punclut.

Minggu pagi, lokasi ini akan berubah menjadi pasar kaget yang menjual beragam jenis barang, mirip seperti pasar kaget di Lapangan Gasibu pada hari Minggu . Sehingga saat Minggu pagi, jalan yang hanya memiliki lebar tiga hingga empat meter itu pun selalu macet. Yang berbeda, disini udara terasa sangat segar, masih alami khas udara pegunungan. Sehingga jalan Punclut akan menjadi area jogging track yang panjang.

Sementara di hari lainnya, jalan punclut kembali menjadi normal bahkan cenderung sepi dari aktifitas wisata.

Untuk mencapai Punclut, ada dua akses jalan yang dapat ditempuh, yakni dari arah Lembang Kabupaten Bandung Barat atau dari Jalan Ciumbuleuit Kota Bandung. Memilih untuk melalui Jalan Ciumbuleuit jauh lebih mudah dilakukan. Jaraknya juga tidak terlalu jauh dari Jalan Cihampelas, sekitar 4 kilometer ke arah Utara , anda sudah memasuki wilayah Punclut. Untuk menuju lokasi wisata, anda dapat mengambil jalan menurun tepat didepan Rumah Sakit TNI AU dr Salamun.

Untuk melintasi Jalan Punclut, anda juga harus ekstra hati-hati karena jalannya agak sempit dan banyak turunan atau tanjakan yang curam. Kemiringannya bahkan dapat mencapai 45 derajat di beberapa ruas jalannya.

Di sepanjang jalan menuju ke puncak tertinggi kawasan obyek wisata keluarga ini para pengunjung akan melihat panorama alam Bandung utara yang cukup indah. Memandang ke arah Selatan, akan melihat deretan pegunungan Malabar, Patuha, dan Waringin. Gunung itu menjadi semacam benteng pelindung Bandung.

Melihat kearah berlawanan, jika cuaca sedang cerah dan tidak berkabut tebal, anda dapat melihat dengan jelas landmark Kota Bandung, seperti Jembatan Layang Paspati, Masjid Raya Jabar, serta gedung-gedung tinggi seperti hotel dan apartemen.

Di Punclut, ada beberapa titik yang strategis untuk melihat pemandangan tersebut. Antara lain di tanjakan terakhir yang paling tinggi, sekitar tower RRI dan jika ada lapangan luas. Di titik-titik itu kini banyak berdiri warung lesehan. Warung lesehan yang ada di seberang kiri dan kanan jalan selalu siap menerima tamu yang hendak beristirahat untuk makan nasi merah. Menu yang sangat sederhana , namun menggugah selera setelah cukup berkeringat usai berolahraga.

Namun jika anda ingin memiliki privasi tersendiri dalam menikmati Punclut, banyak ditemui resort atau vila-vila kecil yang dapat disewa. Cukup mudah menemukannya karena banyak petunjuk arahnya.

Misalnya, anda dapat menyewa tempat di Taguba Resort. Disini view landmark Kota Bandung nampak jelas terlihat. Suasana yang dihadirkan pun cukup menarik, dengan kamar atau vila yang dibangun dari papan kayu. Menurut pengelola setempat, mereka tidak membatasi jumlah orang yang akan menghuni vila tersebut. Cukup menyewa satu, dapat digunakan beramai-ramai.

Selain dapat melihat hamparan Kota Bandung, dari atas Punclut juga dapat dilihat bentangan alam Cimahi. Untuk melihat bentangan kota Cimahi yang ada dibagian Barat hingga Bandung bagian Timur anda dapat mencoba memilih Dragon View. Disebut demikian karena memang ada patung naga berukuran besar yang menandai tempat tersebut. Lokasinya sekitar 100 meter sebelum puncak tertinggi di Punclut.

Memilih menyewa vila memang akan lebih baik. Anda dapat datang Sabtu malam untuk menikmati puncak Bandung di malam hari , lalu esok hari anda dapat berolahraga jalan santai atau jogging. Sebab jika datang Minggu pagi, kendaraan akan sulit melintas karena adanya pasar kaget.

Selain itu, resort tersebut juga biasanya menyediakan beragam kegiatan hiburan bagi keluarga seperti outbound, flying fox, hingga tracking dengan menggunakan ATV (all terrain vehicle).

Sabtu, 07 April 2012

Prasasti di Museum Sri Baduga

Bukti sejarah berupa prasasti juga dapat ditemui di museum Sri Baduga Bandung

. Setidaknya ada empat prasasti yang terbuat dari batu-batu besar dipamerkan, meski semuanya hanya sebuah replika.

Pertama prasasti Ciaruteun yang menggambarkan dua telapak kaki raja. Benda asli terbuat dari batu andesit, ditemukan dialiran sungai Ciaruteun. Kini prasasti tersebut dipindahkan kedarat dan diberi cungkup ( Pelindung ).

Prasasti ini sebagai bukti hadirnya Kerajaan Tarumanagara (+ abad 5 Masehi ) di Jawa Barat dan sekaligus awal dikenalnya tradisi tulis. Pada prasati ini terdapat pahatan sepasang telapak kaki, gambar laba-laba dan empat baris tulisan dalam aksara pallawa dan bahasa sansakerta, berbunyi : vikrantasya vanipateh, srimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya, visnor iva padadvayam yang menjelaskan tentang telapak kaki penguasa kerajaan Taruma Negara , Raja Purnawarman.

Lalu ada Prasasti Tugu. Merupakan prasasti yang memiliki pahatan tulisan terpanjang dari semua prasasti peninggalan Punawarman. Tulisan dipahat melingkar pada sebuah batu bentuk bulat telur. Dalam prasasti tugu menyebutkan antara lain dua nama sungai yang terkenal di Punyab (India) yaitu sungai Candrabhaga dan Gomati.

Prasasti ini sebagai bentuk peringatan pembangunan sungai Candrabaga dan sungai Gomati sepanjang 6.122 tumbak. Pekerjaan selesai dalam 21 hari. Secara etimologi para ahli memperkirakan nama Candrabaga sekarang adalah Bekasi.

Ada juga prasati Batu Tulis yang di pahat pada sebuah batu andesit segitiga pipih, hingga sekarang masih terletak ditempat asalnya. Menurut K.F. Holle dan F. De Haan prasasti ini sudah diketahui dan disebutkan di dalam Dag-register dari Kastil Batavia sejak tahun 1690.

Prasasti Batu Tulis berangka tahun Saka 1455 (1533 Masehi), di buat pada masa Surawisesa (Ratu Sangiang), putra Sri Baduga (1521-1535). Prasasti tersebut merupakan tanda peringatan untuk Sri Baduga Maharaja yang telah membuat parit pertahanan, gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutan) Samida, dan membuat telaga Rena Mahawijaya. Satu prasasti lainnya adalah Prasasti Telapak Kaki Gajah.

Museum Sri Baduga

Bandung memiliki banyak museum. Tetapi hanya Museum Geologi yang berada di Jalan Diponegoro yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan. Padahal ada satu lagi museum yang memiliki koleksi lengkap dan beberapa koleksi masterpiece yang tidak dimiliki oleh museum di daerah lain, yakni Museum Sri Baduga.



Nama Sri Baduga sendiri diambil dari gelar seorang raja Pajajaran yang memerintah tahun 1482-1521 Masehi.

Museum yang berlokasi tepat di samping Lapangan Tegallega Kota Bandung ini menjadi etelase yang menjelaskan secara lengkap sejarah pekembangan Jawa Barat, sejak masa purba hingga berakhirnya masa penjajahan. Inilah yang menjadikan museum sebagai rujukan wajib bagi pelajar jika mendapatkan tugas untuk menulis sejarah Jabar secara lengkap.

Museum ini buka setiap hari mulai pukul 08.00 hingga 14.00. Seperti halnya museum lain di Bandung, Sri Baduga juga menjadi lokasi wisata sejarah murah meriah. Tiket masuk hanya 2 ribu rupiah untuk orang dewasa dan seribu untuk anak-anak.

Pembangunan gedung dirintis sejak tahun 1974 dengan mengambil model bangunan tradisional Jawa Barat, berbentuk bangunan suhunan panjang dan rumah panggung yang dipadukan dengan gaya arsitektur modern. Gedung dibangun di atas tanah bekas areal kantor kewedanaan Tegallega seluas 8,415,5 m. Bangunan bekas kantor Kewedanaan tetap dipertahankan, sebagai Bangunan Cagar Budaya yang difungsikan sebagai salah satu ruang perkantoran.

Museum ini memang cukup luas. Sehingga dapat menampung bus pariwisata maksimal 20 bus. Sehingga tidak perlu khawatir untuk memarkirkan kendaraan. Hanya saja ,lokasinya yang berada di tengah kota, tepatnya di sekitar Jalan M.Toha dan Jalan BKR , merupakan salah satu jalan terpadat di Kota Bandung. Sehingga perlu bersabar untuk dapat mencapai lokasi museum.

Koleksi tetap museum Sri Baduga ditata menyajikan benda- benda bukti kebudayaan Jawa Barat. Kondisi geografis dan kekayaan alam berpengaruh pada tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Jawa Barat. Fase-fase perkembangan tersebut dikelompokkan dalam bentuk pameran dalam tiga lantai ruang pameran tetap museum.

Museum Sri Baduga yang memiliki jumlah koleksi sebanyak 6600 koleksi terdiri dari 6346 buah, 220 set, 23 stel dan 11 pasang yang kemudian dikelompokan menjadi 10 klasifikasi.

Koleksi pembuktian sejarah alam Jawa Barat mengawali tata pameran dilantai satu. Pada zaman Plestosen ( antara 2 juta hingga 11 juta tahun yang lalu ) bumi Jawa Barat telah muncul bersamaan dengan terbentuknya Paparan Sunda.

Digambarkan pulau-pulau di Indonesia bagian barat membentuk satu daratan dengan Asia dan Australia, ketika air laut membeku pada masa glasial ( jaman es ). Dengan adanya jembatan darat terjadi jalur migrasi hewan purba seperti tergambar pada peta Plestosen Indonesia.

Di lantai satu juga menampilkan koleksi yang berkaitan dengan sejarah alam dan budaya Jawa Barat dari masa prasejarah. Media-media pemujaan yang pernah berkembang pada masa lalu merupakan awal munculnya kepercayaan masyrakat di Jawa Barat.

Di lantai dua Museum Sri Baduga ditampilkan koleksi yang mengandung unsur dari 4 kelompok kebudayaan lalu pada lantai tiga ditampilkan koleksi yang mengandung unsur mata pencaharian, teknologi, kesenian, pojok sejarah perjuangan bangsa, pojok wawasan nusantara dan pojok Bandung tempo dulu.

Museum ini banyak menyimpan koleksi master piece. Salah satunya sebuah koleksi langka berupa peta wilayah Madura yang dibuat pada tahun 1885. Peta itu menggambarkan Wilayah Keresidenan dan distrik di Pulau Jawa dan Madura pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Nama-nama tempat yang tercantum pada peta tersebut sudah banyak yang berubah diantaranya distrik Batavia menjadi DKI Jakarta, distrik Bagelen menjadi Kebumen, distrik Basoeki menjadi Kabupaten Jember dan distrik Kedu menjadi Kabupaten Magelang.

Selain memiliki koleksi asli, museum ini juga mencoba untuk melengkapi temuan sejarah dengan membuat replikanya. Misalnya saja Kereta Kencana Paksinagaliman yang merupakan kereta asal Cirebon. Kereta kencana kesultanan Cirebon ini dibuat serupa asli baik ukuran maupun bentuknya. Kereta unik ini memadukan 3 unsur binatang yakni burung, ular naga dan gajah.

Pada leher tertera angka tahun dalam huruf Jawa 1530 Saka ( 1608 M ). Diperkirakan dibuat pada Masa pemerintahan Panembahan Ratu. Kereta ini diduga sebelumnya hanyalah sebuah jampana atau tandu tampak pada bagian badan yang merupakan kesatuan yang utuh.

Kontruksi putaran roda dibagian depan mengadopsi dari kebudayaan Cina. Sedangkan bentuk roda belakang seperti payung dengan kemiringan as 400 dan ukuran dalam satuan sentimeter merupakan pengaruh budaya Eropa. Sejak tahun 1930 kereta kencana yang asli tidak lagi digunakan dan disimpan di museum keluarga kanoman.

Beberapa benda yang juga memiliki nilai tak terhingga adalah koleksi lukisan. Menurut pengelola museum, ada beberapa koleksi lukisan yang pernah masuk dalam bursa lelang Christie. Seperti diketahui, setiap lukisan yang pernah masuk dalam tempat lelang Christie selalu memiliki nilai tinggi, minimal dengan harga diatas 2 miliar rupiah.

Selain koleksi lukisan bernilai miliaran rupiah, museum ini juga memiliki koleksi uang kuno, topeng kuno dan benda-benda logam termasuk senjata yang terbuat dari logam mulia seperti emas dan mutiara. Tentunya koleksi-koleksi itu tidak selalu dipamerkan, hanya pada saat-saat tertentu saja ada pameran khusus master piece, tentunya dengan penjagaan lebih ketat.

Senin, 13 Februari 2012

EKO WISATA di BANDUNG SELATAN : Kebun Teh Malabar


Udara dingin suatu hari di Perkebunan Teh Malabar, Kabupaten Bandung, Jabar seakan menelisik tebalnya mantel, padahal jam di tangan menunjukan pukul 11 siang. Hamparan tanaman teh nan menghijau pun tidak bisa secara lepas dilihat oleh mata karena kabut tebal mulai turun ke tanah.

Jarak pandang hanya berkisar sepuluh meter kedepan, selebihnya kabut putih nan menghitam menutupi jalanan setapak yang membelah hektaran perkebunan teh tersebut.

Namun suasana tersebut nampaknya tidak menghilangkan keceriaan anak-anak Malabar untuk berlarian , bermain diantara rimbunnya kebun teh. Mereka adalah anak warga setempat yang kesehariannya hidup dari memetik teh dan beternak sapi perah.

Menurut warga setempat, saat musim kering, kabut tidak akan setebal seperti saat musim penghujan. Sejak Desember dan diperkirakan hingga Februari nanti, kabut akan lebih sering turun. Biasanya diawali dengan hujan gerimis.

“Jadi, kalau mau ke Malabar lebih baik pakai mantel tebal atau jas hujan. Sebab hujan datang tidak bisa diprediksi, kadang hujan lalu berhenti sebentar, eh hujan lagi,”ujar Uni, warga pemetik teh dan pemilik beberapa ekor sapi perah ini.

Udara yang sejuk bahkan lebih mendekati dingin memang sangat cocok sebagai tempat untuk perkebunan teh. Malabar yang masuk dalam Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung ini terletak pada ketinggian 1.550 m diatas permukaan laut . Rata-rata suhu mencapai 16 hingga 26 derajat celcius.

Lokasi perkebunan teh ini memang cukup jauh. Setidaknya mencapai 45 kilo meter dari pusat Kota Bandung. Namun bagi warga Jakarta untuk mencapainya dapat menggunakan jalan tol Purbaleunyi dan memilih keluar di pintu tol Kopo atau Buah Batu.

Dari pintu tol Kopo atau Buah Batu, Anda harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dan sesekali dicegat kemacetan karena adanya pasar tumpah. Jika keluar tol Kopo kemacetan akan menyergap di Pasar Kopo, namun selepas itu perjalanan akan lancar hingga ke arah Banjaran. Dipertigaan Banjaran, langsung berbelok arah kanan lalu lurus hingga mencapai Pangalengan.

Sementara dari pintu tol Buah Batu, perjalanan akan tersendat saat anda melintasi Pasar Banjaran. Usai lepas dari kemacetan, perjalanan dilanjutkan dengan berbelok kekiri menuju Pangalengan.

Memasuki Pangalengan, selama perjalanan, mata anda akan segar karena di kanan dan kiri jalan nampak permadani hijau dari perkebunan teh, kebun sayur dan pepohonan.

Rambu penunjuk jalan bagi wisatawan cukup jelas. Namun jika ragu-ragu, jangan takut untuk bertanya kepada warga setempat.

Perjalan menuju lokasi wisata di Bandung Selatan mirip dengan lokasi wisata pegunungan lainnya, yakni berkelok-kelok dan sempit. Meski jalanan sudah mulus, namun Anda wajib untuk berhati-hati.

Saat hendak memasuki perkebunan teh Malabar, Anda akan disambut oleh pintu gerbang masuk yang dijaga oleh seorang hansip. Ia akan menunjukan pilihan, apakah akan berbelok ke kanan atau kekiri. Namun pilihannya sama saja, karena dua arah itu sama-sama kebun teh. Karcis masuknya sangat murah, hanya 2000 rupiah saja.

Bedanya, jika berbelok kiri, maka akan langsung betemu dengan warga masyarakat pemetik teh dan pemerah sapi. Jalan yang ditempuh memang cenderung tidak bagus, banyak berlubang. Mungkin karena lebih sering dilalui truk pengangkut teh ataupun susu dan sapi.

Sementara jika ke kanan, cocok untuk tea walk dan ada penginapan yang bisa disewa oleh wisatawan. Jalurnya jauh lebih mulus karena lebih banyak digunakan oleh para pejabat pengelola Malabar (PTPN VII).

Di tempat ini terdapat Wisma Malabar, yang aslinya dibangun pada 1894 sebagai kantor administratur perkebunan Malabar, sekaligus sebagai rumah tinggal KAR Bosscha. Bangunan lain, Wisma Melati, dibangun pada 1898.

Bangunan itu dulunya rumah tinggal wakil administratur perkebunan. Kini Wisma Melati disewakan untuk wisatawan. Rumah para pemetik teh yang dibangun pada 1890 sebagai rumah asli Sunda tempo dulu, juga masih dipertahankan keotentikannya.

Tak jauh dari Wisma Malabar, terdapat peristirahatan sekaligus makam Boscha. Makam itu terletak di hutan kecil, di tengah-tengah kebun teh. Kondisinya terawat, dikelilingi pagar, dan tanaman coleus warna-warni menghiasi halamannya.

Kini kediaman Meneer Bosscha itu telah diperbaraui lagi dan ruangannya ditambah hingga menjadi 11 kamar. Dan oleh oleh PTPN VIII Wisma Malabar dan Wisma Melati disewakan bagi para wisatawan yang ingin berkunjung dan ingin menginap di daerah ini.

Harga sewa kamar di wisma Malabar lumayan murah. Untuk kamar dilantai atas harga sewanya adalah 200 ribu hingga 400 ribu perharinya tergantung weekdays, weekend atau saat libur nasional. Harga tersebut sudah termasuk sarapan pagi untuk 2 orang.

Sementara bagi yang datang dalam jumlah banyak atau berombongan lebih baik menyewa di Wisma Melati karena dapat menampung lebih dari 40 orang. Ada empat kamar didalamnya yang dapat diisi tempat tidur secara lesehan. Harga sewanya antara 350 ribu hingga 450 ribu per hari.

Berkunjung ke Malabar memang lebih baik menginap. Karena selain perjalannya yang cukup jauh, juga anda akan lebih puas menikmati suasana dinginnya puncak Kabupaten Bandung itu. Esok paginya anda dan keluarga dapat berjalan kaki menyusur kebun teh. (tea walk) atau mengunjungi peternakan sapi perah. Pagi hari, terasa nikmat minum susu murni yang panas di antara timbunya teh Malabar.

Melihat Penangkaran Kura-Kura di Ujung Genteng


Awal tahun adalah saat yang tepat untuk melihat penyu hijau (Chelonia mydas ) bertelur. Dalam siklus bertelur, hewan lucu ini akan bertelur pada bulan November hingga Maret, menyeusaikan dengan kondisi alam.

Pada bulan-bulan tersebut, angin laut sedang tidak bersahabat bagi manusia dan lebih memilih untuk menghindari laut. Kondisi inilah yang membuat penyu hijau akan menuju ke pantai untuk bertelur. Maklum, hewan ini sangat pemalu. Saat sudah berada di pantai untuk bertelur mendadak akan kembali ke laut jika melihat cahaya ataupun suara manusia. Sehingga memang gampang-gampang susah untuk dapat menyaksikan penyu bertelur.

“Biasanya kita tunggu dulu sampai mereka menggali dan mengeluarkan telur. Kalau sudah bertelur mereka tidak perduli jika ada yang datang,” ujar Abah Janawi, salah seorang penjaga di lokasi konservasi penyu Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jabar belum lama ini.

Abah yang sudah belasan tahun menjadi penjaga di penangkaran tersebut mengatakan penyu-penyu akan datang sendiri kelokasi penangkaran yang disiapkan. Mereka sepertinya sudah hafal lokasi bertelur yang aman. Meski demikian, ujarnya, banyak juga penyu yang bertelur di pasir putih sepanjang pantai Pangumbahan.

“Kalau tidak waspada maka telur-telur penyu itu akan hilang diambil warga. Jadi kalau malam kita patroli untuk memantau telur dan akan dipindahkan di penangakaran dalam lubang buatan.”

Harga telur yang mahal yakni 5 ribu per buah membuatnya menjadi buruan paling menguntungkan bagi warga sekitar. Terlebih saat ini kondisi pantai yang sedang ganas membuat nelayan tidak bisa melaut sehingga mencari penghasilan lain. Dalam satu lubang minimal akan berisi 100 buah telur. Sehingga dari satu lubang pemburu telur akan mendapatkan penghasilan hingga 500 ribu.

Selain gangguan manusia, hewan liar khususnya babi hutan sering menjaranh sarang telur penyu hijau. Bahkan dilokasi penangkaran pun sering kali didatangi hewan liar tersebut. Lokasi penagkaran memang sangat terpencil, berada di wilayah Ujung Genteng, atau pantai selatan Jabar. Lokasinya dikelilingi oleh hutan tanaman bakau dan perkebunan yang dikelola PTPN.

Upaya melestarikan penyu sebenarnya sudah sering dilakukan oleh pemerintah setempat, antara lain dengan mendirikan pusat penangkaran penyu sejak Desember tahun 2009 oleh Dinas Kelautan Kabupaten Sukabumi. Kini setelah berjalan hampir tiga tahun, upaya tersebut sudah membuahkan hasil.

Lokasi konservasi penyu hijau di pantai tersebut kini sudah mulai dikenal masyarakat luas dan menjadi daya tarik wisatawan. Meski diakui untuk mencapai lokasi penangkaran , turis harus berusaha ekstra. Jalur transportasi menuju lokasi masih sangat buruk. Terlebih pada saat musim penghujan dan angina kencang, akses jalan menuju penangkaran sering tidak bisa dilalui karena terputus banjir dan air laut yang naik ke darat.

Namun bagi pangunjung, sulitnya mencapai lokasi akan terbayarkan dengan menyaksikan langsung penyu bertelur dan melepaskan tukik (anak penyu) ke lautan.

Seperti dikatakan penjaga kawasan konservasi, waktu yang tepat untuk menyaksikan langsung penyu bertelur adalah saat malam hari. Karena penyu adalah hewan pemalu, maka ia akan menunggu saat hari gelap dan sepi untuk naik ke pantai dan bertelur.

Sejak Desember, ratusan induk penyu sudah melepaskan telurnya di pantai. Sebagian kini sudah disimpan dilokasi penetasan. Satu lubang penetasan berisi lebih dari 100 telur. Hal itu dapat diketahui dari patok-patok yang dipasang di dekat lubang. Patok dari kayu itu ditulis jumlah telur yang ada di lubang tersebut.

Saat yang tepat untuk melihat penyu bertelur adalah antara pukul 12 malam hingga menjelang fajar (subuh). Namun tidak semua pengunjung akan beruntung dapat melihat langsung proses tersebut. Tidak ada cahaya yang diperbolehkan terlihat di lokasi bertelur sehingga hanya penjaga konservasi yang akan tahu dimana ada penyu sedang mendekat ke pantai untuk bertelur.

Bukan hanya gelap gulita, pengunjung juga harus melawan dinginnya cuaca, kerasnya terjangan angin laut dan hujan yang setiap saat dapat turun tiba-tiba. Sehingga jika tetap memaksa ingin melihat penyu bertelur, anda harus mempersiapkan fisik dan membawa baju tebal atau jas hujan. Membawa makanan dan minuman sebagai pengusir lapar juga diperbolehkan asal tidak membuang sampahnya secara sembarangan.

Menyaksikan penyu bertelur memang lebih cocok bagi pengunjung dewasa, namun tidak usah khawatir bagi pengunjung anak-anak. Anak-anak pasti akan suka melihat anak penyu yang lucu-lucu.

Setiap sore, sekitar pukul 18-19, pihak pengelola konservasi akan melepaskan anak penyu kelautan. Sekali pelepasan dapat mencapai 500 ekor lebih.

“Tukik dilepas saat menjelang malam. Ini dilakukan agar mereka bisa selamat hidup dilaut. Kalau dilepaskan siang hari dijamin semuanya akan disantap predator. Disini banyak ikan besar dan burung pemakan ikan,” ujar Abah.

Nah, jika ingin melihat lucunya penyu hijau langsung di lautan, anda dapat mengunjungi Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jabar selama bulan Januari hingga Maret. Untuk mencapai lokasi tersebut lebih baik menggunakan kendaraan dengan roda besar atau tinggi. Tidak disarankan menggunakan city car. Tidak usah khawatir, jika kendaraan tidak bisa mencapai lokasi, anda bisa menggunakan jasa ojek dengan ongkos sekitar 30-50 ribuan yang dapat disewa seharian penuh.

Vihara Tertua di Bandung, Kelenteng Satya Budhi



Vihara atau sering disebut kelenteng atau klenteng setiap kali tahun baru China selalu terlihat berbenah. Demikian pula dengan sejumlah kelenteng yang ada di Kota Bandung. Salah satunya adalah Kelenteng Satya Budhi yang berlokasi di Jalan Kelenteng No 223 A, Kota Bandung.

Salah seorang pengurus kelenteng menyebutkan bahwa kelenteng ini merupakan yang tertua di Jawa Barat (Jabar). Usianya ditaksir sudah diatas 125 tahun. Di kelenteng tersebut nampak prasasti yang menceritakan pembangunan kelenteng dan kegiatan renovasinya. Ditulis kelenteng dibangun pada abad ke-19 tepatnya tahun 1896.

Pada awalnya kelenteng tidak bernama Satya Budhi namun Xie Tian Gong. Perubahan nama dilakukan sejak masa orde baru yang pada saat itu memang anti dengan nama-nama yang berbau bahasa China. Nama Satya Budhi pun dipakai hingga kini.

Selain sebagai tempat berdoa bagi warga tionghoa atau keturunan, kelenteng tersebut juga sangat indah tampak dari luar. Sehingga tidak jarang sering pula dikunjungi wisatawan, khususnya dari China.

Menuju ke kelenteng tersebut sangat mudah, karena terletak di tengah Kota Bandung. Jaraknya hanya sekitar 50 meter dari persimpangan Jalan Kelenteng dengan Jalan Sudirman Kota Bandung. Kawan ini sering disebut sebagai Pecinan, karena memang banyak dihuni oleh warga tionghoa.

Kelenteng nampak cerah dengan dominasi warna merah, sejak gapura gerbangnya. Memasuki gerbang kelenteng, sebuah Patung Dewa Guan Gong yang menunggang kuda sedang mengangkat kaki depan akan menyambut. Patung sebagai simbol perlindungan dari dewa bagi siapapun yang hendak masuk kedalam kelenteng. Semerbak wangi dupa ikut menyambut tamu.

Sebelum masuk kedalam vihara tersebut, nampak gambaran mural yang indah menceritakan dewa-dewa warga China seperti diakui oleh tiga agama yakni Konghucu, Tao, dan Budha. Nampakpanji-panji yang dibawa yang mengisyaratkan kebajikan.

Puncak atap vihara juga khas, yakni dihiasi dengan ukiran atau patung ular naga besar.

Saat memasuki lokasi didalam kelenteng, ratusan lilin yang ditata rapi di bagian kanan dan kiri nampak menyerupai bukit kecil. Sementara beberapa warga nampak khusuk berdoa, duduk sambil mengatupkan telapak tangan (mirip bertapa).

Meski cat kelenteng nampak cerah dengan warna merah dan putih yang dominan, didalam kelenteng suasanya langsung berubah. Suasana hening dan damai sangat terasa. Lalu lalang pengunjung untuk berdoa atau bersedekah tidak menimbulkan keributan. Elemen interior vihara nampakseimbang, kaya akan detail dan warna serta bernilai estetis oriental, mengingatkan saya pada filosofi Tao, Yin-Yang, tentang penting-nya keseimbangan dalam kehidupan.

Kelenteng ini menjadi yang paling besar di Bandung. Pada bagian tengahnya terdapat sebuah altar yang lebih mirip aula tempat peribadatan sangat luas. Di bagian depan altar nampak patung dewa-dewi dari giok. Nampak pula tempat pembakaran kertas uang di masing-masing sisi yang menyerupai Pagoda.

Menilik dari berbagai literature, kelenteng yang sudah berusia 125 tahun ini ternyata memiliki sejarah berliku untuk tetap dipertahankan keberadaannya.

Di penghujung abad ke-19 tepatnya tahun 1896, Golongan Timur Asing etnis Tiong Hoa yang bertempat di lingkungan Pecinan Kota Bandung mendirikan sebuah kelenteng pertama di Bandung. Arsiteknya sengaja didatangkan dari China.

Pada awalnya Sheng Di Miao difungsikan sebagai tempat beribadah bersama. Lalu pada tahun 1917, kelenteng ini dibangun ulang dan berganti nama menjadi Kelenteng Xie Tian Gong yang berarti Kelenteng Masyarakat. Kini lebih dikenal sebagai Vihara Satya Budhi.

Dan saat pergantian tahun baru China, kelenteng ini akan dipadati oleh warga tionghoa, yang datang dari Bandung, Jakarta, Cirebon hingga Semarang. Pada malam tanggal 22 dan 23 Januari mendatang kelenteng ini akan dipadati ratusan pengunjung yang hendak melewati pergantian tahun China atau Imlek atau Gong Xi Fa Cai.

Wisata Belanja di Kampung Batik Trusmi, Cirebon


Pamor kain batik kini semakin naik. Yang mengenakan pakaian ini bukan lagi orang berumur namun kaum muda pun sudah banyak yang menyukainya. Di Jawa Barat (Jabar) ada beberapa sentra produksi batik yang sudah dikenal hingga ke luar negeri. Salah satunya adalah sentra batik Trusmi yang berlokasi di Jalan Raya Plered Kabupaten Cirebon.

Trusmi adalah nama sebuah kampung batik yang sudah puluhan tahun menjadi sentra produksi batik tradisional. Meski saat ini produksi batik tradisional sudah mulai bergeser dengan produksi secara modern dan masal melalui mesin printing, produksi batik tulis atau batik cap (cetak) di Trusmi masih terus terpelihara.

Kisah membatik desa Trusmi berawal dari peranan Ki Gede Trusmi, salah seorang pengikut setia Sunan Gunung Jati ini mengajarkan seni membatik sembari menyebarkan Islam. Sampai sekarang, makam Ki Gede masih terawat baik, setiap tahun dilakukan upacara cukup khidmat, upacara Ganti Welit (atap rumput) dan Ganti Sirap setiap empat tahun.

Batik Trusmi berhasil menjadi ikon batik dalam koleksi kain nasional. Batik Cirebon sendiri termasuk golongan Batik Pesisir, namun juga sebagian batik Cirebon termasuk dalam kelompok batik keraton.

Hal ini dikarenakan Cirebon memiliki dua buah keraton yaitu Keratonan Kasepuhan dan Keraton Kanoman, yang konon berdasarkan sejarah dari dua keraton ini muncul beberapa desain batik Cirebonan klasik yang hingga sekarang masih dikerjakan oleh sebagian masyarakat desa Trusmi diantaranya seperti Mega Mendung, Paksinaga Liman, Patran Keris, Patran Kangkung, Singa Payung, Singa Barong, Banjar Balong, Ayam Alas, Sawat Penganten, Katewono, Gunung Giwur, Simbar Menjangan, Simbar Kendo dan lain-lain.

Mungkin karena tetap memegang pakem tradisonal, Trusmi masih tetap bertahan dalam memproduksi batik. Meski kekhawatiran penerus perajin batik didaerah ini mulai muncul seiring minat pemuda didaerah yang lebih memilih meninggalkan kampung batik untuk merantau.

Untuk menuju Trusmi sangat mudah. Perjalanan menggunakan kendaraan umum, bus kota dari arah Bandung atau Jakarta semuanya akan melintasi sentra batik Trusmi tersebut. Memang papan nama sebagai petunjuk memasuki kampung ini tidak terlalu mencolok, hanya papan iklan penunjuk lokasi dari seng berukuran sekitar tiga meter persegi saja.

Tiba di perempatan jalan Plered Cirebon, petunjuk lebih mudah bagi yang belum pernah menyambangi tempat ini adalah adanya pasar tumpah, Pasar Plered. Pasar yang selalu ramai dan sering membuat kemacetan itu menjadi pemandangan lain bagi para wisatawan yang hendak berkunjung ke Trusmi. Biasanya jalan Plered di sekitar pasar tumpah itu akan macet pada pukul 8 hingga 10.

Memasuki kampung batik ini bisa melalui pintu utama Jalan Buyut Trusmi atau melalui Jalan Panembahan, sekitar 200 meter dari perempatan jalan Plered. Aroma lilin cair yang terbakar sangat terasa saat berada disini. Sejak memasuki tempat ini, mulai dari rumah pertama nampak beragam baju dan kain batik dipamerkan. Seluruh rumah penduduk disini nampak menjadi show room dan produksi batik. Mulai dari hanya rumah kecil sederhana hingga rumah besar yang memasang nama toko.

Jalannya memang cukup sempit, terlebih lahan parkir yang disediakan juga tidak terlalu luas. Sehingga kebanyakan pengunjung yang hendak berbelanja memarkirkan kendaraan di salah satu toko yang lahan parkirnya sedang kosong, setelah itu mereka berjalan-jelan keluar masuk rumah atau toko batik di Trusmi.

Meski demikian, berkeliling di kampung batik Trusmi dengan panjang jalan sekitar 1,5 km itu terasa sangat menyenangkan terlebih bagi yang hobi belanja baju. Selain dimanjakan dengan berbagai produk batik mulai dari yang berharga murah sekitar 50 ribuan hingga yang bernilai jutaan rupiah perbuahnya, pengunjung juga diperkenankan untuk masuk lebih dalam kedapur pembuatan batik. Ibu-ibu berusia lanjut akan dijumpai di bagian belakang shoow room , serius dengan pekerjaannya menggambar motif batik dengan canting.

Beberapa lokasi yang biasanya sering dikunjungi adalah Batik Katura, yang berlokasi persis didepan kantor dan show room koperasi batik. Disini, pemiliknya yakni Katura selalu menerima tamu dengan tanagn terbuka, termasuk menyediakan waktu untuk mengajari cara membatik.

Batik Katura hanya memproduksi batik tulis. Sehingga harganya pun lumayan mahal namun kualitasnya sangat bagus. Sehingga tidak jarang, tempat ini sering didatangi turis asing terutama dari Jepang.

Lokasi lain yang juga sering dikunjungi adalah Kampoeng Batik EB di Jalan Penambahan milik perajin batik Edi Baredi. Tempat ini sengaja dibuat seperti one stopshooping batik. Sebab selain menjual batik, lokasinya nyaman untuk beristirahat sejenak setelah menempuh perjalanan sepanjang pantura.

“Kalau ibunya belanja batik, suaminya bisa belanja kuliner sementara anak-anaknya bisa bermain disini,” ujar Edi belum lama ini.

Berbagai upaya memang dilakukan oleh para pengelola atau perajin batik di Trusmi untuk menarik minat pembeli. Sebab menurutnya pembeli batik tidak hanya berasal dari kota Cirebon dan sekitarnya, namuan juga berasal dari Jakarta, Bandung atau Semarang sehingga harus diberikan pelayanan yang bagus.

Selain dua tempat tersebut, ada banyak tempat lainnya yang juga dapat didatangi satu persatu untuk mendapatkan corak batik megamendung, corak khas batik Cirebon. Sebab berbelanja disini memang lebih baik tidak terburu-buru untuk mendapatkan batik yang bagus namun harga bisa ditawar.

Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda



Bosan berliburan ke Bandung hanya untuk menikmati suasana belanja di factory outlet atau menikmati kuliner, tidak ada salahnya anda mencoba untuk menikmati udara yang sejuk di Taman Hutan Raya atau disebut dengan Tahura Djuanda.

Jika banyak yang menyatakan Bandung sudah tidak sejuk dan adem lagi, suasana di Tahura paling tidak mengekspresikan kondisi Kota Bandung tahun 1980-an. Udara yang masih bersih, pohon-pohon besar nan hijau dan kicauan burung membuat siappun akan betah berlama-lama disini.

Terletak di sebelah utara Bandung, lebih tepatnya masuk dalam wilayah Kecamatan Cicadas dan Kecamatan Lembang kabupaten Bandung Barat. Dengan luas 590 hektare ini dulunya dikenal dengan nama Taman Wisata Curug Dago hingga ditetapkan oleh Presiden Soeharto dengan nama Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, sekitar tahun 1980.
Tahura mudah dicapai karena berada di jalan Dago yang menuju ke arah lembang. Lokasinya tidak terlalu jauh dari persimpangan jalan Dago Giri, atau sebelum belokan ke arah Dago Resort. Sebuah papan nama di pinggir jalan akan menuntun pengunjung ke lokasi hutan kota ini. Jalur lain yang bisa ditempuh adalah dari arah jalan Cikutra atau Pahlawan Kota Bandung.

Ada dua pintu masuk yang disediakan bagi pengunjung. Pengunjung yang datang menggunakan mobil diarahkan untuk masuk melalui pintu utama. Sementara bagi yang menggunakan motor atau sepeda selain dapat masuk melalui pintu utama juga disarankan masuk melalui pintu dua. Karena pengelola membolehkan pengunjung masuk menggunakan motor atau sepeda, karena lokasi wisata yang ada di dalam hutan tempatnya cukup berjauhan.

Pengunjung yang akan masuk harus membeli tiket seharga 7.500 rupiah per orang. Jika membawa motor ada tambahan 5 ribu sementara mobil 10 ribu, plus biaya asuransi 5 ratus rupiah. Pengunjung cukup sekali membayar karena tidak ada biaya tambahan lain saat menikmati sejumlah tempat tujuan wisata di dalam Tahura Djuanda.

Untuk menjelajahi kawasan Tahura Djuanda diperlukan waktu dua hingga tiga jam dengan berjalan kaki. Tidak usah khawatir anda akan kehausan atau kecapaian, sebab didalam lokasi ada beberapa tempat untuk “ngaso” berupa warung-warung lesehan. Warung menyediakan beragam minuman atau makanan kecil termasuk jagung bakar. Jadi jika sudah lelah berkeliling, makan jagung bakar sembari menikmati pemandangan hutan pinus akan menjadi penutup wisata yang cukup mengasyikan.

Tahura Djuanda merupakan taman terbesar yang pernah dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda berbentuk hutan lindung. Saat awal dibangun dinamakan Hutan Lindung Gunung Pulosari. Perintisan taman ini dilakukan sejak tahun 1912 bersamaan dengan pembangunan terowongan penyadapan aliran sungai Cikapundung yang kemudian dinamakan sebagai Gua Belanda.

Nama Tahura Djuanda sendiri diambil dari tokoh yang bernama Ir. R.Djoeanda Kartawidjaja yang ikut andil dalam pengembangan hutan tersebut. Sejak tahun 1960-an, Tahura Djuanda mulai ditanami dengan tanaman koleksi pohon-pohonan yang berasal dari berbagai daerah. Kerjasama pembangunan Kebun Raya Hutan Rekreasi tersebut melibatkan Kebun Raya Bogor menanam koleksi tanaman dari di Bogor.

Nama tempat ini terus berubah diantaranta pernah dinamakan Taman Wisata Curug Dago. Nama resmi Taman Hutan Raya baru dipakai tahun 1985 sejak diresmikan Presiden Soeharto.

Selain menjadi etalase tanaman pinus dan kaliandra, sejumlah fauna juga terdapat disini seperti monyet dan beragam jenis burung. Tahura juga memiliki sejumlah air terjun atau dalam bahasa setempat disebut curug. Antara lain Curug Lalay, Curug Kidang, Curug Koleang dan Curug Omas.

Di Tahura juga terdapat dua buah gua yakni disebut Gua Belanda dan Gua Jepang. Dua gua ini menjadi daya tarik utama bagi para pengunjung yang datang ke tempat ini.

Tahura kini menjadi paru-paru Bandung dan sudah ditetapkan sebagai hutan kota internasional melalui konferensi TUNZA yang berlangsung di hutan Babakan Siliwangi, Kota Bandung, akhir tahun 2011 lalu.

Jumat, 06 Januari 2012

Wisata Bunga Cihideung


Menjelajahi kawasan Lembang, Kabupaten Bandung Barat seakan tiada bosan. Suasana pegunungan yang menyejukan membuat siapa pun betah untuk berlama-lama dan selalu ingin kembali lagi.

Sejumlah spot ecowisata hingga kuliner di wilayah Lembang tidak pernah habis untuk dijelajahi. Sebab lokasi wisata termasuk restoran, vila dan hotel di daerah ini hampir setiap tahun selalu saja ada yang baru.

Salah satu lokasi wisata yang hingga saat ini masih tetap bertahan dan selalu saja menarik kunjungan wisatawan adalah Cihidueng yang lebih dikenal sebagai taman wisata bunga Cihideung. Pemerintah setempat sendiri lebih menyukai dengan sebutan kawasan agrowisata Cihideung.

Meski lokasinya sudah diluar Kota Bandung, masuk dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat, lokasinya tidak terlalu jauh dari Jalan Setiabudi, Kota Bandung. Jaraknya hanya sekitar 5 kilo meter-an dari perempatan Jalan Setiabudi - Sersan Bajuri. Atau sekitar 20 kilo meter dari pusat Kota Bandung ke arah Barat.

Terletak di Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong Lembang Kabupaten Bandung Barat, wisata bunga Cihidueng memiliki luas sekitar 50 hektare. Pemandangan berbagai macam jenis bunga warna-warni sangat menyejukan mata. Warna-warni bunga sepanjang Jalan Sersan Bajuri hingga Kolonel Masturi layaknya sebagai kebun bunga yang panjang.

Maklum saja, hampir semua penduduk yang tinggal disini memanfaatkan halaman rumahnya sebagai kebun bunga. Meski lahan sangat terbatas, penduduk tidak kehilangan akal. Mereka menanam bunga pada polybag yang ditempatkan diteras depan rumah.

Sementara bagi yang memiliki lahan luas, mereka membuat kumbung atau rumah kaca yang berfungsi sebagai tempat budidaya tanaman bunga. Selain menanam pada tanah dan rak-rak dari bambu, kumbung juga dipenuhi dengan pot-pot kecil yang menggantung pada kerangka bambunya. Sehingga memasuki wilayah ini, dikanan dan kiri jalan, mata akan dimanjakan dengan pemandangan segarnya warna-warni bunga. Selain tanaman bunga, terdapat juga berbagai jenis bibit buah–buahan.

Lokasi ini menjadi wisata kebun bunga sejak diresmikan oleh Menteri Penerangan Harmoko pada tahun 1997, dengan luas areal 50 hektare. Di Cihideung juga didirikan Balai Informasi Masyarakat (BIM) Cihideung yang berlokasi di Kampung Pangairan Cihideung Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat. BIM ini berfungsi untuk terus mempromosikan Cihideung sebagai kawasan wisata bunga.

Cihideung merupakan surga bagi pecinta dan pemburu tanaman hias. Bahkan menjadi pilihan bagi toko bunga hias untuk memborong bunga karena harganya jauh lebih murah. Tidak jarang event organizer pernikahan juga membeli bunga disini untuk keperluan dekorasi pengantin.

Mereka akan sangat dimanjakan karena banyak pilihan bunga, baik bunga lokal hingga bunga impor. Kebetulan, banyak petani bunga disini yang bereksperimen dengan menanam bunga impor. Seperti bermacam bunga anggrek, bunga /tanaman air yang didatangkan dari Brazil hingga Eropa.

Soal harga, bagi pembeli borongan tentunya akan dapat membeli dengan harga murah. Namun jangan khawatir, bagi anda yang ingin membeli satuan, petani disini tidak mematok harga pas. Harga bunga memang tergantung jenisnya, mulai yang seharga seribu per buah untuk punga potong hingga yang diatas seratus ribu untuk tanaman bunga. Untuk jenis anggrek bahkan harganya bisa mencapai ratusan ribu.

Yang menjadi kekurangan daerah ini adalah jalan yang relatip sempit sehingga jika menggunakan kendaraan besar seperti bus tidak akan dapat bergerak bebas, selain akan sulit untuk mencari lokasi parkir. Maklum, lahan yang ada disini semuanya dimanfaatkan sebagai kebun bunga. Praktis pengunjung yang membawa kendaraan harus parkir di pinggir jalan. Sehingga memang lebih baik saat mengunjungi Cihideung menggunakan kendaraan berukuran kecil. Menggunakan motor atau bersepeda juga dapat dicoba.

Atau akan lebih menyenangkan jika menyusuri taman bunga panjang di lokasi ini dengan berjalan kaki. Selain menyehatkan, dengan berjalan kaki, anda akan lebih leluasa untuk memilih bunga dan bebas berpindah-pindah dari satu kebun ke kebun lainnya.

Anda tinggal memilih untuk memarkir kendaraan di restoran atau hotel yang ada disekitar lokasi. Lalu tinggal mencari sewa motor atau sepeda.

Tidak usah khawatir, warga disini sangat ramah. Sehingga jika anda terlalu cerewet dengan harga bahkan tidak jadi membeli karena tidak sepakat, mereka akan tetap melayani dengan baik.

Nah setelah cuci mata di kebun bunga Cihidueng, perjalanan anda di Bandung dapat dilanjutkan dengan melihat kawasan perkebunannya. Hamparan kebun sayuran seperti wortel, kubis, brokoli, dll dapat anda saksikan ke arah Barat atau menuju arah Lembang tepatnya di Desa Cigugur Girang. Desa ini memang terkenal dengan produk sayurannya. Belanja langsung dari petaninya, bisa saja lebih murah, lho.

Atau jika memilih untuk pulang kembali ke Jakarta, tidak ada salahnya mampir ke kios-kios pinggir jalan sepanjang jalan Lembang-Setiabudi untuk membeli kelinci hias atau nanas Subang sebagai oleh-oleh.