Bobotoh dan Bisnis Miliaran Rupiah
Ada sejumlah tim sepak bola di Jawa Barat, namun hanya Persib Bandung yang paling konsisten tampil di liga tertinggi Indonesia. Dari sebelumnya bernama Perserikatan, Liga Utama Indonesia, Liga Super Indonesia hingga tahun ini menjadi Liga Prima Indonesia, Persib Bandung, tidak pernah absen menjadi salah satu kontestannya.
Selain Persib sebenarnya ada tim lain yakni Pelita Jaya dan tim tetangga Persikab Kabupaten Bandung. Namun tetap saja Persib menjadi ikon sepakbola Jawa Barat. Persib nu aing! Persib milik kami! Kalimat itu sama saja diteriakan bobotoh baik dari Bandung, Purwakarta, Cirebon atau daerah lain di Jawa Barat.
Bahkan penyebaran bobotoh tidak hanya di lokal Jawa Barat, mereka ada di Jakarta, Surabaya, hingga Sumatra. Mereka mengibarkan bendera bobotoh seperti Viking, Bomber dll.
Jumlah bobotoh belum ada yang memastikan, namun dapat dilihat jika mereka ngumpul di Stadion Si Jalak Harupat Soreang Kabupaten Bandung untuk menyaksikan Persib bertanding. Kursi Stadion sebanyak 40 ribu unit terisi penuh. Itu pun tidak semua bobotoh bisa masuk karena memang daya tampungnya terbatas. Jadi jumlah pendukung pasti lebih dari 40 ribu.
Persib memang sudah mendarah daging bagi warga Jawa Barat. Semua tindak-tanduk pemainnya selalu menjadi magnet dan menjadi berita yang terus diburu bobotoh. Persib menjadi salah satu bagian dari ikon Jawa Barat yang akrab seperti halnya Gedung Sate hingga tempat belanja FO/ distro.
Banyaknya pendukung tim yang berjulukan Pangeran Biru ini juga menjadi magnet tersendiri bagi mereka yang jeli melihat peluang bisnis merchandise. Kaos apparel Persib bahkan menjadi salah satu kaos yang paling diburu. Sehingga banyak juga distro yang khusus menyediakan kaos Persib.
Salah satu mantan Pemain Persib Bandung Eka Ramdhani, yang pada musim liga tahun ini hijrah ke PSM Putra Samarinda, memiliki sebuah toko distro yang menjual berbagai pernak-pernik Persib. Mulai dari kaos, syal, kaos kaki, topi dll. Bahkan sebuah bus ukuran besar juga disulap menjadi distro mobile yang menjual berbagai merchandise Persib Bandung.
Sayang, saat bobotoh mengetahui Eka Pindah klub, distronya sempat dirusak. Salah satu bentuk kekecewaan dan anarkhis dari pendukung fanatik yang terkadang sesekali muncul.
Selain distro, jumlah PKL yang menjual pernak-pernik Persib jauh lebih banyak. Mereka akan semakin banyak lagi setiap kali ada pertandingan. Kaos bola dengan harga mulai 50 ribu rupiah laris manis. Tetapi kalau ingin mendapatkan kaos asli dari si pemegang merek kaos Persib tahun ini “Mittre”, harganya juga berbeda, bisa 250 ribu hingga 300 ribuan per buah.
Omset penjualan merchandise Persib bahkan akan semakin meningkat setiap kali liga diawali. Sebab kaos atau pun sejumlah merchandise lainnya pasti keluar dengan warna atau model terbaru. Nah, bobotoh tidak mau ketinggalan untuk memiliki kaos Persib paling baru tersebut. Berapapun harganya, pasti dibeli.
Selain bisnis jual beli kaos yang nilainya diperkirakan mencapai miliaran rupiah itu, bisnis lain terkait Persib juga cukup banyak. Seperti Café Persib di Jalan Sulanjana ataupun penjualan lagu-lagu indie dari band lokal Bandung yang mendukung Persib.
Kafe Persib yang berlokasi di Jalan Sulanjana memang cukup unik. Warna biru yang menjadi warna khas Persib nampak mencolok. Sementara menu-menu makanannya pun cukup enak. Mulai dari menu khas Sunda hingga menu Eropa. Kafe ini menjadi salah satu pilihan bobotoh untuk nongkrong ataupun mencari informasi tentang para pemain Persib.
Sementara album lagu-lagu Persib juga cukup laris dan diburu oleh bobotoh. Musisi yang mengisi album tersebut juga band nasional seperti Pas Band, SeriueS Band, Mocca, Cherry Bombshel dll.
Mocca yang membawakan "Mars PERSIB", pada bagian choir yang bernyanyi 'Go...PERSIB...Go!' diisi oleh pelatih dan pemain asing PERSIB pada saat itu (2004), yaitu Juan Paez, Andres Angelo, Claudio Lizama dan Adrian Colombo. Lagu-lagu ini biasanya dinyanyikan para bobotoh saat berada di stadion saat menyaksikan Persib berlaga.
Bahkan musisi kawakan seperti (alm) Kang Ibing dan Doel Sumbang pun ikut andil mengisi lagu dalam album tersebut.
Nah, Persib memang sudah menjadi salah satu ikon Jawa Barat sekaligus magnet bagi mereka yang jeli melihat peluang bisnisnya
Sabtu, 29 Oktober 2011
Land Rover Bandung
Off Road Di Pegunungan Bandung
Terasa ada sensasi tersendiri ketiga menikmati off road di lembang atau Pangalengan , Bandung dengan menggunakan kendaraan tua si Land Rover atau sering hanya disebut Rover. Off road menggerus dengan Rover kini semakin digandrungi.
Kenikmatan mengendarai Rover terasa saat menyusuri wilayah hutan kecil dengan sisi kanan dan kiri terlihat jurang tebing yang cukup tinggi. Menikmati pemandangan hamparan kebun teh dengan latar pergunungan. Atau hanya sekedar duduk di belakang Rover memandang senja atau fajar dari puncak Bandung.
Teriakan histeris dari penumpang Rover setiap kali kendaraan menaiki tanjakan terjal ataupun miring hingga terasa hampir terguling selalu saja terdengar. Namun dengan kelihaian sopir, Rover selalu selamat sampai tujuan.
Hampir setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu, sejumlah event organizer memanfaatkan Rover sebagai salah satu kegiatan yang ditawarkan kepada konsumen. Off road dengan Rover bahkan sering menjadi kegiatan puncak dalam setiap kegiatan out bond. Bisingnya raungan knalpot Rover saat menggerus tanah berlumpur di puncak bukit Lembang atau Pangalengan malah membuat peserta outbound semakin senang.
“Setiap Sabtu dan Minggu selalu saja ada yang “ngojek” Rover, biasanya dikordinir oleh Event Organizer (EO),” ujar Iwan, salah satu penggiat Land Rover Cabang Bandung (LRCB).
Ngojek, demikian ia menyebutnya, menjadi istilah yang sudah umum digunakan oleh pemilik Rover yang menyewakan kendaraan tersebut. Iwan menyatakan, komutas pecinta Rover di Bandung sudah cukup lama membina hubungan baik dengan sejumlah EO.
Ngojek LR perharinya memang lumayan mahal. Ongkos sewa untuk off road di Lembang sekitar 750 ribu hingga 850 ribu per hari rutenya mulai dari Bandung- Gunung Putri hingga Parompong Lembang.. Konsumen tidak perlu membayar lain-lain, tinggal menikmati off road. Biasanya yang digunakan adalah LR panjang sehingga muat tujuh hingga sembilan penumpang per mobilnya.
Selain untuk ngojek, komunitas ini juga tidak melulu menggunakan kendaraan tuanya untuk keperluan mencari uang semata. Banyak kok kegiatan sosial yang mereka lakukan.
Sebagai contohnya saat bulan puasa lalu, ratusan anggota komunitas LRCB mengadakan kegiatan sosial bersama sekitar 500 orang anak yatim piatu dari berbagai yayasan di Bandung.
Booming-nya ojek Rover memang tidak lepas dari peran Event Organizer yang jumlahnya cukup banyak di Bandung. Namun EO yang memanfaatkan jasa Rover Bandung juga banyak yang berlokasi di Jakarta. Jadi jika anda ingin out bond sambil off road dipastikan EO siap menyediakannya.
Namun jika ingin langsung berhubungan dengan LRCB, datangi saja tempat kumpulnya di sekretariat LRCB , Jalan Ciremay nomor 5 Bandung.
Minggu, 23 Oktober 2011
Indonesia Bermain 2011
Indonesia Bermain resmi dibuka pada tanggal 22 Oktober 2011 di gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Bandung . Kegiatan Indonesia bermain diharapkan bisa menjadi sarana kreasi dan edukasi serta mengangkat potensi bermain secara positif.
“Lewat bermain, kita bisa mendapatkan momen-momen pembelajaran dalam hidup kita salah satunya yaitu memunculkan rasa pantang menyerah.” CEO Agate Studio, Arief Widhiyasa.
Di ajang yang baru pertama kalinya dilaksanakan ini, Indonesia Bermain menampilkan 150 digital & mobile games, 180 boardgame & cardgame, 15 publisher lokal & international dan lebih dari 25 perusahaan game developer dari indonesia. Sebanyak 3500 lebih pengunjung memadati hari pertama area permainan raksasa yang terdiri dari digital dan konvensional tersebut.
Dalam kegiatan tersebut juga diperkenalkan Game Smash Mania merupakan game pertama di dunia yang menggunakan teknologi teknologi Near Field Communication (NFC) dan Augmented reality yang dapat dimainkan dalam ponsel Nokia N9, Nokia 600 dan Nokia 700.
Acara yang diselenggarakan oleh Game Developer asal Bandung Agate Studio, Kummara bersama Majalah Marketing dan AnimartDigi dengan dukungan penuh dari Nokia Developer ini digelar selama dua hari pada tanggal 22 dan 23 Oktober di Sabuga, Bandung.
Sabtu, 22 Oktober 2011
Pesona Cibaduyut
Jajan Sepatu Kulit di Cibaduyut
Ingat Cibaduyut, ingat sepatu kulit. Memasuki kawasan ini anda akan disambut oleh dua patung sepatu ukuran jumbo, tepat diujung jalan masuk Cibaduyut. Memasuki sentra sepatu yang lokasinya tidak jauh dari Terminal Leuwipanjang ini, bagi anda yang gemar berbelanja sepatu akan merasakan surga belanja sepatu. Bagaimana tidak, sepanjang jalan Cibaduyut berjejeran toko-toko besar dan kecil yang menjual sepatu, tas, jaket kulit dll.
Berbelanja di Cibaduyut juga tidak perlu terburu-buru, sebab akan banyak pilihan model sepatu dan variasi harga yang anda temukan. Soal parkir kendaraan juga tidak perlu khawatir. Bus wisata ukuran besar pun sering mampir ke sentra industri sepatu di Kota Bandung ini.
Sepatu buatan Cibaduyut sebetulnya sudah banyak dipakai berbagai kalangan. Hanya saja, jika memakai label lokal Cibaduyut pemakainya seakan merasa belum naik kelas. Harus diakui konsumen lebih menyukai sepatu dengan merek asing yang terdengar lebih trendi dan up to date, meski aspal (asli tapi palsu). Padahal, sepatu dengan merek terkenal kenyataannya banyak yang dibuat di Cibaduyut.
Kini Cibaduyut kembali berbenah untuk mengembalikan kawasan ini sebagai salah satu ikon wisata di Kota Bandung. Anggapan miring terhadap kualitas sepatu seperti mudah rusak dan kurang nyaman mulai ditepis dengan berbagai produk baru dan trendi.
Selain wisatawan yang berdatangan ke toko-toko sepatu di Cibaduyut, banyak juga pesanan yang masuk dari luar negeri melalui internet. Hal ini menandakan kualitas sepatu Cibaduyut setara dengan produk negara lain. Selain produk sepatu, Kawasan Cibaduyut juga terkenal akan produk kulitnya, seperti jaket, tas, ikat pinggang, dan aksesoris jenis lainnya.
Kini selain sepatu, di kawasan yang termasuk wilayah Kec.Bojongloa Kidul tersebut, pengunjung bisa menemukan beranekaragam barang yang terbuat dari kulit. Seperti sandal, tas, dompet, ikat pinggang hingga barang lainnya.Produknya kini sudah mulai dikenal luas hingga ke luar negeri.
Industri sepatu di Cibaduyut memang sangat banyak, sehingga pembuatnya harus selalu jeli dan memiliki inovasi. Model sepatu yang sedang disukai konsumen harus selalu tahu. Selain itu merek sepatu juga dibuat dengan bahasa asing atau dimirip-miriokan dengan merek sepatu tekenal, tanpa menghilangkan identitas lokal Cibaduyut. Langkah ini tentunya untuk semakin meningkatkan prestise sepatu Cibaduyut.
Sebagai contohnya adalah sebuah toko sepatu di Cibaduyut yang menggunakan nama mantan presiden RI Jusuf Kalla sebagai mereknya. Memang tidak menyebut secara lengkap, hanya JK saja. Tetapi siapa pun akan tahu kalau JK adalah inisial khas untuk Jusuf Kalla.
Pemilik merek JK Collection Shoes, Adeng Sugianto, mengakui memiliki ide menamakan merek sepatunya dengan JK setelah mantan wapres itu berkunjung ke Cibaduyut. Saat itu kebetulan mampir ditokonya dan membeli sepatu. Kini JK Collection memiliki hampir 300 model sepatu yang seluruhnya berbahan dasar kulit. Sepatu itu bukan hanya untuk dipakai pria tetapi juga ada yang dibuat untuk perempuan.
Harga sepatu di JK Collection lumayan murah, mulai dari 50 ribu rupiah hingga yang termahal 250 ribu rupiah. Harganya akan jauh lebih mahal jika sudah dijual di showroom atau toko reseller. Untuk memastikan bahwa itu asli buatan Adeng, setiap sepatu akan diberi label JK Collection, baik di alas sepatu bagian dalam atau di samping sepatu. Berupa cap logo JK atau label JK yang diselipkan dengan di sol.
Ingat Cibaduyut, ingat sepatu kulit. Memasuki kawasan ini anda akan disambut oleh dua patung sepatu ukuran jumbo, tepat diujung jalan masuk Cibaduyut. Memasuki sentra sepatu yang lokasinya tidak jauh dari Terminal Leuwipanjang ini, bagi anda yang gemar berbelanja sepatu akan merasakan surga belanja sepatu. Bagaimana tidak, sepanjang jalan Cibaduyut berjejeran toko-toko besar dan kecil yang menjual sepatu, tas, jaket kulit dll.
Berbelanja di Cibaduyut juga tidak perlu terburu-buru, sebab akan banyak pilihan model sepatu dan variasi harga yang anda temukan. Soal parkir kendaraan juga tidak perlu khawatir. Bus wisata ukuran besar pun sering mampir ke sentra industri sepatu di Kota Bandung ini.
Sepatu buatan Cibaduyut sebetulnya sudah banyak dipakai berbagai kalangan. Hanya saja, jika memakai label lokal Cibaduyut pemakainya seakan merasa belum naik kelas. Harus diakui konsumen lebih menyukai sepatu dengan merek asing yang terdengar lebih trendi dan up to date, meski aspal (asli tapi palsu). Padahal, sepatu dengan merek terkenal kenyataannya banyak yang dibuat di Cibaduyut.
Kini Cibaduyut kembali berbenah untuk mengembalikan kawasan ini sebagai salah satu ikon wisata di Kota Bandung. Anggapan miring terhadap kualitas sepatu seperti mudah rusak dan kurang nyaman mulai ditepis dengan berbagai produk baru dan trendi.
Selain wisatawan yang berdatangan ke toko-toko sepatu di Cibaduyut, banyak juga pesanan yang masuk dari luar negeri melalui internet. Hal ini menandakan kualitas sepatu Cibaduyut setara dengan produk negara lain. Selain produk sepatu, Kawasan Cibaduyut juga terkenal akan produk kulitnya, seperti jaket, tas, ikat pinggang, dan aksesoris jenis lainnya.
Kini selain sepatu, di kawasan yang termasuk wilayah Kec.Bojongloa Kidul tersebut, pengunjung bisa menemukan beranekaragam barang yang terbuat dari kulit. Seperti sandal, tas, dompet, ikat pinggang hingga barang lainnya.Produknya kini sudah mulai dikenal luas hingga ke luar negeri.
Industri sepatu di Cibaduyut memang sangat banyak, sehingga pembuatnya harus selalu jeli dan memiliki inovasi. Model sepatu yang sedang disukai konsumen harus selalu tahu. Selain itu merek sepatu juga dibuat dengan bahasa asing atau dimirip-miriokan dengan merek sepatu tekenal, tanpa menghilangkan identitas lokal Cibaduyut. Langkah ini tentunya untuk semakin meningkatkan prestise sepatu Cibaduyut.
Sebagai contohnya adalah sebuah toko sepatu di Cibaduyut yang menggunakan nama mantan presiden RI Jusuf Kalla sebagai mereknya. Memang tidak menyebut secara lengkap, hanya JK saja. Tetapi siapa pun akan tahu kalau JK adalah inisial khas untuk Jusuf Kalla.
Pemilik merek JK Collection Shoes, Adeng Sugianto, mengakui memiliki ide menamakan merek sepatunya dengan JK setelah mantan wapres itu berkunjung ke Cibaduyut. Saat itu kebetulan mampir ditokonya dan membeli sepatu. Kini JK Collection memiliki hampir 300 model sepatu yang seluruhnya berbahan dasar kulit. Sepatu itu bukan hanya untuk dipakai pria tetapi juga ada yang dibuat untuk perempuan.
Harga sepatu di JK Collection lumayan murah, mulai dari 50 ribu rupiah hingga yang termahal 250 ribu rupiah. Harganya akan jauh lebih mahal jika sudah dijual di showroom atau toko reseller. Untuk memastikan bahwa itu asli buatan Adeng, setiap sepatu akan diberi label JK Collection, baik di alas sepatu bagian dalam atau di samping sepatu. Berupa cap logo JK atau label JK yang diselipkan dengan di sol.
MAIL ART
Ngumpulin Tandatangan Tokoh Dunia
Ternyata berkirim surat dapat menjadi sebuah kegiatan seni, Mail Art namanya. Seni surat-menyurat seperti ini mungkin hanya sebagian kecil yang menggelutinya. Kegiatan berkirim surat ini menurut pengiatnya masuk dalam kategori seni karena kemudian gambar-gambar orang penting dengan tanda tangan mereka dipamerkan kepada public setelah terkumpul dalam jumlah banyak.
Seperti yang dilakukan oleh Evie dan Toni Antonius, dua penggiat Sanggar Olah Seni Bandung. Ia sudah memiliki foto dan poster tokoh dunia seperti pemain bole legendaries asal Brazil, Pele. Lalu mantan Presiden AS George Bush, bintang band rock and roll asal AS Rolling Stone dll.
Menurut Toni, Mail Art pertama pernah dilakukan ditempat yang sama pada tahun 2009 yang mengambil tema “From The World With Love”. Sementara pameran kali ini yang dibuka sejak 26 September lalu itu mengambil tema “Peace, Journey to The East.” Ada sekitar 300 foto dan poster yang dipamerkan.
Ia dan Evie selama sekitar 10 bulan itu berkirim surat kepada sejumlah tokoh atau artis dunia dengan meminta balasan berupa tanda tangan dan sedikit pernyataan tentang tema pameran, yakni kedamaian.
Alamat surat yang hendak dituju memang agak sulit dicari. Beruntung teknologi internet menjadi jalan keluar ketika kesulitan mendapatkan alamat surat sang tokoh atau artis. Surat dikirim dengan melampirkan foto atau poster sang tokoh bersama dengan amplop yang sudah ditempeli perangko balasan. Perangko balasannya pun menggunakan perangko terbitan PT Pos Indonesia. Meski kemudian seringkali balasan didapat dengan menggunakan perangko negara asing dimana tokoh tersebut tinggal.
Untuk mempermudah berkirim surat, Evie dan Toni menggunakan alamat Kotak Pos 6622, Bandung 40116A yang disewa dari PT POS.
Dan ternyata dengan hanya berkirim surat, para tokoh dunia, meski hanya sekedar foto atau poster dengan tandatangan, dapat bersatu dalam sebuah pameran yang mengambil tema kedamaian di Babakan Siliwangi Kota Bandung.
Minggu, 16 Oktober 2011
Jelekong, Kampung Pelukis di Bandung
Jika membeli lukisan sekedar untuk pajangan rumah, mempercantik kamar, tentunya tidak perlu membeli lukisan yang terlalu mahal dari karya pelukis terkenal. Di Kota Bandung ada beberapa lokasi yang dapat dikunjungi jika Anda ingin berburu lukisan murah, namun memiliki kualitas yang baik.
Misalnya di sepanjang jalan Braga Kota Bandung. Disini adalah surganya bagi anda yang akan
membeli lukisan kanvas dengan cat minyak. Harga lukisannya bervariasi mulai dari 50 ribu hingga diatas satu juta rupiah, tergantung dari ukuran lukisan, model lukisan dan bahan-bahan untuk melukisnya.
Di Braga ada sebuah toko yang memang khusus menjual lukisan, yakni Jalu Braga. Jalu jika di panjangkan berarti Jajan Lukisan. Nah disini Anda memang dapat berbelanja lukisan-lukisan bagus namun dengan harga yang dapat ditawar.
Selain di toko, puluhan lukisan yang sudah dibingkai juga dijajakan disepanjang trotoar jalan Braga. Tentunya harga lukisan di trotoar akan lebih mudah ditawar dan lebih murah.
Sebenarnya jika Anda ingin harga lukisan yang dibeli murah, belilah lukisan dalam bentuk lembaran atau belum di bingkai. Harganya antara 50 ribu hingga 150 ribu-an.
Atau jika anda memang sangat kritis terhadap harga lukisan, datangi saja kampung lukis yang ada di Jalan Giriharja Kelurahan Jelekong Kabupaten Bandung. Karena Anda juga perlu ketahui, bahwa lukisan-lukisan yang dijajakn di Jalan Braga hampir seluruhnya adalah karya pelukis di kampung ini.
Dudung, seorang pelukis Jelekong mengakui, setiap bulan ada ratusan lembar lukisan yang dibeli oleh sejumlah Bandar lukisan untuk dijual kembali.
“Semua yang di Jalan Braga itu diambil dari Jelekong. Memang ada juga yang melukis di Braga, tetapi orangnya dari sini juga,” kata dia.
Di kampung lukis ini paling tidak ada enam galeri yang memajang hasil lukisan dari sekitar 500 warga atau pemuda desa tersebut. Jika dirata-rata dalam sehari satu orang mampu membuat satu lukisan, maka dalam sehari ada 500 lukisan yang diproduksi di kampung ini. Tak heran jika banyak bandar lukisan yang menjadi langganannya.
Menurut Dudung, Bandar lukisan tidak hanya datang dari Indonesia saja, tetapi banyak juga yang berasal dari Malaysia, Singapura, Timor-timur dan juga Arab Saudi.
“Mereka membeli lukisan dengan harga sekitar 150 ribuan, dalam bentuk lembaran saja. Setelah dikemas dan diberi kanvas, biasanya dijual diatas 500 ribuan,’ kata dia.
Menjelang Idulfitri, menurutnya, para bandar lukisan lebih banyak memesan lukisan berobjek kaligrafi atau tulisan ayat-ayat suci Al-Quran. Lukisan seperti itu kini sedang laris-larisnya. Meski demikian para pelukis di kampung ini tidak menaikan harga jual.
Salah satu public figure yang pernah heboh diberitakan karena menikahi anak dibawah umur, diakui Dudung, juga telah memborong lukisan kaligrafi sekitar 300 lembar. “Katanya sih mau diekspor. Dia itu kan memang bisnisnya kaligrafi dari kuningan. Kini mau coba-coba kaligrafi lukisan.”
Nah jika Anda berminat ke kampung ini tidak terlalu sulit karena dapat dicapai dengan tujuan pintu toal Buah Batu, Bandung. Perjalanan dilanjutkan ke arah Kecamatan Baleendah menuju Kampung Jelekong. Masyarakat sekitar sudah tidak asing lagi dengan kampung ini sehingga dengan sekali bertanya (jika tersesat) maka akan langsung diantar ke tujuan
Misalnya di sepanjang jalan Braga Kota Bandung. Disini adalah surganya bagi anda yang akan
membeli lukisan kanvas dengan cat minyak. Harga lukisannya bervariasi mulai dari 50 ribu hingga diatas satu juta rupiah, tergantung dari ukuran lukisan, model lukisan dan bahan-bahan untuk melukisnya.
Di Braga ada sebuah toko yang memang khusus menjual lukisan, yakni Jalu Braga. Jalu jika di panjangkan berarti Jajan Lukisan. Nah disini Anda memang dapat berbelanja lukisan-lukisan bagus namun dengan harga yang dapat ditawar.
Selain di toko, puluhan lukisan yang sudah dibingkai juga dijajakan disepanjang trotoar jalan Braga. Tentunya harga lukisan di trotoar akan lebih mudah ditawar dan lebih murah.
Sebenarnya jika Anda ingin harga lukisan yang dibeli murah, belilah lukisan dalam bentuk lembaran atau belum di bingkai. Harganya antara 50 ribu hingga 150 ribu-an.
Atau jika anda memang sangat kritis terhadap harga lukisan, datangi saja kampung lukis yang ada di Jalan Giriharja Kelurahan Jelekong Kabupaten Bandung. Karena Anda juga perlu ketahui, bahwa lukisan-lukisan yang dijajakn di Jalan Braga hampir seluruhnya adalah karya pelukis di kampung ini.
Dudung, seorang pelukis Jelekong mengakui, setiap bulan ada ratusan lembar lukisan yang dibeli oleh sejumlah Bandar lukisan untuk dijual kembali.
“Semua yang di Jalan Braga itu diambil dari Jelekong. Memang ada juga yang melukis di Braga, tetapi orangnya dari sini juga,” kata dia.
Di kampung lukis ini paling tidak ada enam galeri yang memajang hasil lukisan dari sekitar 500 warga atau pemuda desa tersebut. Jika dirata-rata dalam sehari satu orang mampu membuat satu lukisan, maka dalam sehari ada 500 lukisan yang diproduksi di kampung ini. Tak heran jika banyak bandar lukisan yang menjadi langganannya.
Menurut Dudung, Bandar lukisan tidak hanya datang dari Indonesia saja, tetapi banyak juga yang berasal dari Malaysia, Singapura, Timor-timur dan juga Arab Saudi.
“Mereka membeli lukisan dengan harga sekitar 150 ribuan, dalam bentuk lembaran saja. Setelah dikemas dan diberi kanvas, biasanya dijual diatas 500 ribuan,’ kata dia.
Menjelang Idulfitri, menurutnya, para bandar lukisan lebih banyak memesan lukisan berobjek kaligrafi atau tulisan ayat-ayat suci Al-Quran. Lukisan seperti itu kini sedang laris-larisnya. Meski demikian para pelukis di kampung ini tidak menaikan harga jual.
Salah satu public figure yang pernah heboh diberitakan karena menikahi anak dibawah umur, diakui Dudung, juga telah memborong lukisan kaligrafi sekitar 300 lembar. “Katanya sih mau diekspor. Dia itu kan memang bisnisnya kaligrafi dari kuningan. Kini mau coba-coba kaligrafi lukisan.”
Nah jika Anda berminat ke kampung ini tidak terlalu sulit karena dapat dicapai dengan tujuan pintu toal Buah Batu, Bandung. Perjalanan dilanjutkan ke arah Kecamatan Baleendah menuju Kampung Jelekong. Masyarakat sekitar sudah tidak asing lagi dengan kampung ini sehingga dengan sekali bertanya (jika tersesat) maka akan langsung diantar ke tujuan
Belanja Lukisan di Galeri Lukis Bandung
Bertandang ke Kota Bandung, Anda pasti tidak akan melewatkan sajian khas kulinernya atau lokasi wisata eksotisnya. Tetapi bagi Anda yang sudah bosan karena terlalu sering berkunjung ke kota kembang, masih banyak hal lain selain kuliner yang bisa anda kunjungi.
Cobalah untuk bereksperimen dengan mengunjungi galeri lukisan di kota kembang ini. Meski anda tidak terlalu menggemari seni lukis diatas kanvas, paling tidak dengan melihat karya maestro lukis di beberapa galeri di Kota Bandung, dapat membuat referensi anda bertambah.
Kebanyakan galeri lukis yang ada di Kota Bandung dipilih dilokasi yang jauh dari keramaian, meski tetap lokasinya ada di pusat kota atau jika ada dipinggiran kota, akses jalan mudah dicapai. Kebanyakan galeri milik pribadi atau pelukisnya dan dikonsep senyaman mungkin bagi para pengunjung. Selain menikmati lukisan dan berbelanja lukisan berkualitas, pengunjung juga bisa menikmati pemandangan Kota Bandung dari atas sambil ngopi.
Sebagai contohnya sebuah galeri yang kini lebih dikenal sebagai Museum Barli yang berlokasi di jalan Prof. Dr. Sutami no 91 Bandung. Seperti namanya, museum ini didirikan untuk mendedikasikan nama besar seniman lukis nasional Barli Samitawinata.
Lukisan karya Barli sudah mendunia. Karya-karyanya bahkan tergolong langka sehingga memiliki nilai jual yang sangat tinggi.
Museum ini terdiri atas tiga lantai, lantai pertama Rangga Gempol, dimaksudkan untuk mengingat galeri awal yang pernah dibuat di kawasan Jalan Dago Kota Bandung. Karena semakin sempit, maka dipindahkanlah lokasinya ke Jalan Sutami. Di lantai ini menjadi lokasi belajar dan diskusi bagi penggemar lukisan barli dan kongkow para sahabat. JIka anda ingin melihat karya Barli, lokasinya ada di lantai paling atas. Lantai kedua dijadikan sebagai galeri.
Galeri lainnya adalah Galeri Seni Popo Iskandar, yang juga menjadi anak didik dari Barli. Berlokasi di Jalan Setiabudi 268. Karena lokasinya di Setiabudi, jalan yang menjadi salah satu urat nadi wisata Kota Bandung, galeri ini juga sering digunakan sebagai ruang public untuk menggelar karya seni selain lukisan. Dan tentunya disini dipajang banyak lukisan karya Popo Iskandar.
Galeri lukisan yang juga asyik untuk didatangi karena lokasinya yang indah dan pas untuk kongkow adalah Selasar Sunaryo Art Space yang terletak di Bukit Pakar Timur No 100.Lokasinya yang ada diatas bukit membuat udara di galeri ini sangat nyaman bagi anak-anak. Sehingga seringkali banyak rombongan keluarga yang sengaja berkunjung sekedar untuk menikmati suasana sambil menikmati kopi khas di galeri ini.
Selain galeri milik pribadi para pelukisnya, di Kota Bandung juga terdapat galeri yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jabar, yakni Galeri Kita di Jalan RE Martadinata atau lebih dikenal dengan jalan Riau. Atau ada pula Galeri Soemardja, yang dikelola oleh Fakultas Senirupa dan Desain ITB. Disini seringkali diadakan pameran lukisan oleh para alumni ITB, seperti Nandang Gawe yang saat ini menggelar pameran bertema The Ugliness.
Sementara itu ada satu lagi galeri yang memanfaatkan keramaian mal. Galeri Zola Zolu ada di kawasan pusat perbelanjaan Cihampelas Walk, Jalan Cihampelas.
Menurut pemiliknya Hengkie, galeri ini dibuka karena adanya hobby yang sama dari pemilik mal yakni suka mengoleksi lukisan dari pelukis-pelukis besar. Kebetulan ia yang sudah lama memiliki galeri lukis juga tertarik untuk membuka galeri tersebut di dalam mal.
Alasannya, mal banyak dikunjungi orang, sehingga tidak ada salahnya galeri ini ada, selain berbelanja, pengunjung juga bisa menikmati lukisan.
Sehingga jika bermain di lokasi perbelanjaan ini, bapaknya dapat bersantai menikmati lukisan, sementara ibunya bisa berbelanja dan anaknya dapat bermain di wahana mainan mal ini.
Digaleri ini kebetulan sedang berlangsung pameran pelukis Akhmad Su’udhi yang mengambil tema atau objek anak-anak dalam lukisannya. Harga lukisan yang dijual disini berkisar antara 30 juta hingga 75 juta rupiah.
Zola Zolu sendiri awalnya ada di Jalan Natuna 15 Kota Bandung. Lalu membuka galeri di Cihampelas Walk lantai satu, jalan Cihampelas 160. Selain di Bandung Zola Zolu juga membuka galerinya di City Plaza Jalan Jend. Gatot Subroto 42 Jakarta.
Nah, berkunjung ke Bandung tidak ada salahnya menikmati suasana galeri-galeri lukisnya bukan? Lokasinya yang masih ada di pusat kota, sangat mudah untuk di jangkau. Sehingga setelah penat berbelanja di FO atau kekenyangan menikmati kuliner Bandung, bersantai sejenak di galeri lukisan tersebut, bukan pilihan yang buruk.
Gedung Bisnis dan Pusat Hiburan Bandung Tempo Dulu
Sejumlah bangunan cagar budaya di kawasan wisata belanja ini sebagian besar memang masih mempertahankan kondisi asli. Namun itu hanya dibagian luar bangunan saja. Dibagian dalam, penyewa rumah bebas mengatur atau membongkar bangunan sesuai dengan kebutuhan. Misalnya rumah tinggal yang di jadikan butik atau FO, resto bahkan menjadi hotel.
Bangunan cagar budaya di Kota Bandung sangat layak unt
uk dipertahankan. Selain nilai sejarahnya, bangunan tersebut juga menunjukan hasilkarya sejumlah arsitek seperti Schoemaker bersaudara, A.F Aalbers, Gerber, Gijsel dan termasuk Soekarno.
Bangunan cagar budaya di Kota Bandung jika ditelisik lebih dalam akan diketahui bahwa sebagian diantaranya memang dibangun untuk menjadi pusat bisnis kala itu.
Gedung pensil di Jl A. Yani-Gatot Subroto Nomor 1 kini menjadi kantor Danareksa, perusahaan sekuritas nasional. Bangunan ini dibangun pada tahun 1928 untuk kantor dagang pada zamannya. Lokasinya sangat strategis , terletak di simpang lima sebagai kawasan pusat perdagangan. Bangunan ini jarang terlihat karena posisinya persis berada di pojok jalan antara Gatot Subroto dengan A. Yani yang hanya dilalui kendaraan satu arah.
Gedung ini dinamakan Gedung Pensil karena menilik dari atapnya yang berbentuk bundar dan lancip diujung tengahnya seperti sebuah pensil yang sudah diraut. Bangunan terdiri dari dua lantai dengan gaya arsitektur Eropa yang begitu kental. Dilihat dari bentuk jendela yang besar memanjang tegak lurus.
Gedung ini pernah menjadi pusat kantor Handel Mij. Groote & Scholtz, agen Dunlop dan minyak pelumas Shell. Kini bangunan tersebut digunakan Danareksa. Perubahan penghuni ternyata juga merubah interior didalam gedung, meski bangunan ini menjadi lebih tertata rapi.
Selain Gedung Pensil, bangunan cagar budaya yang hingga kini menjadi pusat bisnis adalah Ex Insulinde di Jl Braga No 135. pada awal dibangun tahun 1921 fungsi utama bangunan ini adalah sebagai pabrik oli yang dirancang arsitek C.P.W Schoemaker dan selesai pada tahun 1924. gaya Art Deco sangat lekat pada bangunan ini. Yang menarik adalah adanya kap lampu terbuta dari perunggu yang ditempatkan di kolom persegi empat di bagian depan bangunan. Hingga kini lampu tersebut masih menyala jika malam hari.
Bangunan ini beberapa kali berubah fungsi, daripabrik oli, lalu menjadi kantor karisidenan Priangan hingga Polwiltabes Bandung. Sempat juga menjadi FO dan sekolah taman kanak-kanak. Saat menjadi sekolah, jendela gedung dicat warna-warni cerah. Kini bangunan ini kembali menjadi pusat bisnis, setelah menjadi kantor pusat Bank BJB Syariah. Bangunan pun dicat putih bersih seperti kondisi aslinya.
Pemerintah Kota Bandung sepertinya berkomitmen untuk menyewakan bangunan cagar budaya sesuai fungsinya pada saat pertama kali dibangun. Selain Gedung Pensil dan Insulinde, gedung De Eerste Nederlandsch-Indische en Hypotheekbank (DENIS) yang menjadi bank Hindia Belanda dan kantor perusahaan asuransi yang didirikan Sam Ratulangi kini tetap berfungsi sebagai bank. (Bank BJB).
Kantor Pos Besar di Jl Asia Afrika juga sampai hari ini masih tetap berdiri kokoh seperti aslinya saat dibangun oleh arsitek J. Van Gendt. Didepan kantor pos juga masih terdapat bis surat yang asli dengan jelas masih tertulis Brievenbus (bis surat). Saat perang kemerdekaan gedung pos ini pernah dibom namun hanya interiornya saja yang rusak dan hangus terbakar, sementara gedung kokoh berdiri hingga saat ini.
Gedung PLN di Jalan Cikapundung juga sejak dulu masih menjadi kantor pengatur listrik. Didirikan tahun 1933 menjadi kantor aNV GEBEO (perusahaan lsitrik pada jaman Belanda). Saat Jang menjajah , gedung ini tetap menjadi kantor distribusi listrik dan saat ini gedung tersebut menjadi kantor pusat PT PLN Distribusi Jabar dan Banten.
Pemerintah Hindia Belanda pada jamannya juga tidak lupa membangun pusat perdagangan, Centre Point. Gedung rumah toko (ruko) ini bersambung dengan Landmark di Jalan Braga yang kini sering digunakan sebagai venue untuk pameran.
Centre point dibangun sejak tahun 1925 yang digunakan sebagai ruko. Centre point merupakan bangunan deret (ensamble) yang terletak di sudut. Dahulu , menjadi pusat belanja orang berduit dan bangsawan karena hanya menjual barang-barang impor dari Eropa. Kini barang yang diperdagangkan tidaklah barang impor lagi. Namun fungsi rumah toko masih tetap dipertahankan.
Warga Hindia Belanda dan kaum bangsawan banyak yang berkujnung ke Kota Bandung. Mereka biasanya berkumpul di sekitar Jalan Braga atau disebut Pedatiweg dan Asia Afrika. Belum ada mobil waktu itu, kendaraan mewah adalah pedati. Di dua jalan ini pedati lalu lalang mengantarkan bangsawan Belanda dan raja –raja yang ingin menikmati hiburan.
Menurut Harastuti, ada sejumlah lokasi atau gedung yang saat itu berfungsi sebagai bioskop atau lokasi pertunjukan seni. Disekitar alun-alun Bandung, berderet empat gedung bioskop yaitu Elita, Oriental dan Varia yang berderet serta Radio Cyti yang bersebelahan dengan rumah bupati Bandung. Sayangnya setelah kemerdekaan, bangunan bioskop itu dihancurkan dan dijadikan pusat perdagangan , pertokoan dan perkantoran.
Yang tersisa adalah Radio City yang dibangun pada tahun 1930. Sebenarnya biorkop ini sering memutar film nasional, namun dengan semakin suramnya perfilman nasional berdampak pula pada bioskop ini. Sempat ditutup lama, lalu menjadi tempat hiburan malam dan klub bilyard. Aktifitas hiburan malam di gedung ini menjadi lebih dominan.
Selain bioskop, pemerintah Hindia Belanda juga membangun gedung untuk hiburan kelas atas. Lokasinya di Jl Naripan No 7 yang kini menjadi kantor yayasan Pusat Kebudayaan (YPK). Disini bangsawan dan orang Belanda bermain bilyard, main kartu dan minum-minum. Gedung pertunjukan juga dibangun di Jl Braga yang dinamakan Majestic. Gedung ini masih sering digunakan untuk berbagai pagelaran seni atau musik bahkan sering dipakai untuk pesta pernikahan.
Bangunan cagar budaya di Kota Bandung sangat layak unt
uk dipertahankan. Selain nilai sejarahnya, bangunan tersebut juga menunjukan hasilkarya sejumlah arsitek seperti Schoemaker bersaudara, A.F Aalbers, Gerber, Gijsel dan termasuk Soekarno.
Bangunan cagar budaya di Kota Bandung jika ditelisik lebih dalam akan diketahui bahwa sebagian diantaranya memang dibangun untuk menjadi pusat bisnis kala itu.
Gedung pensil di Jl A. Yani-Gatot Subroto Nomor 1 kini menjadi kantor Danareksa, perusahaan sekuritas nasional. Bangunan ini dibangun pada tahun 1928 untuk kantor dagang pada zamannya. Lokasinya sangat strategis , terletak di simpang lima sebagai kawasan pusat perdagangan. Bangunan ini jarang terlihat karena posisinya persis berada di pojok jalan antara Gatot Subroto dengan A. Yani yang hanya dilalui kendaraan satu arah.
Gedung ini dinamakan Gedung Pensil karena menilik dari atapnya yang berbentuk bundar dan lancip diujung tengahnya seperti sebuah pensil yang sudah diraut. Bangunan terdiri dari dua lantai dengan gaya arsitektur Eropa yang begitu kental. Dilihat dari bentuk jendela yang besar memanjang tegak lurus.
Gedung ini pernah menjadi pusat kantor Handel Mij. Groote & Scholtz, agen Dunlop dan minyak pelumas Shell. Kini bangunan tersebut digunakan Danareksa. Perubahan penghuni ternyata juga merubah interior didalam gedung, meski bangunan ini menjadi lebih tertata rapi.
Selain Gedung Pensil, bangunan cagar budaya yang hingga kini menjadi pusat bisnis adalah Ex Insulinde di Jl Braga No 135. pada awal dibangun tahun 1921 fungsi utama bangunan ini adalah sebagai pabrik oli yang dirancang arsitek C.P.W Schoemaker dan selesai pada tahun 1924. gaya Art Deco sangat lekat pada bangunan ini. Yang menarik adalah adanya kap lampu terbuta dari perunggu yang ditempatkan di kolom persegi empat di bagian depan bangunan. Hingga kini lampu tersebut masih menyala jika malam hari.
Bangunan ini beberapa kali berubah fungsi, daripabrik oli, lalu menjadi kantor karisidenan Priangan hingga Polwiltabes Bandung. Sempat juga menjadi FO dan sekolah taman kanak-kanak. Saat menjadi sekolah, jendela gedung dicat warna-warni cerah. Kini bangunan ini kembali menjadi pusat bisnis, setelah menjadi kantor pusat Bank BJB Syariah. Bangunan pun dicat putih bersih seperti kondisi aslinya.
Pemerintah Kota Bandung sepertinya berkomitmen untuk menyewakan bangunan cagar budaya sesuai fungsinya pada saat pertama kali dibangun. Selain Gedung Pensil dan Insulinde, gedung De Eerste Nederlandsch-Indische en Hypotheekbank (DENIS) yang menjadi bank Hindia Belanda dan kantor perusahaan asuransi yang didirikan Sam Ratulangi kini tetap berfungsi sebagai bank. (Bank BJB).
Kantor Pos Besar di Jl Asia Afrika juga sampai hari ini masih tetap berdiri kokoh seperti aslinya saat dibangun oleh arsitek J. Van Gendt. Didepan kantor pos juga masih terdapat bis surat yang asli dengan jelas masih tertulis Brievenbus (bis surat). Saat perang kemerdekaan gedung pos ini pernah dibom namun hanya interiornya saja yang rusak dan hangus terbakar, sementara gedung kokoh berdiri hingga saat ini.
Gedung PLN di Jalan Cikapundung juga sejak dulu masih menjadi kantor pengatur listrik. Didirikan tahun 1933 menjadi kantor aNV GEBEO (perusahaan lsitrik pada jaman Belanda). Saat Jang menjajah , gedung ini tetap menjadi kantor distribusi listrik dan saat ini gedung tersebut menjadi kantor pusat PT PLN Distribusi Jabar dan Banten.
Pemerintah Hindia Belanda pada jamannya juga tidak lupa membangun pusat perdagangan, Centre Point. Gedung rumah toko (ruko) ini bersambung dengan Landmark di Jalan Braga yang kini sering digunakan sebagai venue untuk pameran.
Centre point dibangun sejak tahun 1925 yang digunakan sebagai ruko. Centre point merupakan bangunan deret (ensamble) yang terletak di sudut. Dahulu , menjadi pusat belanja orang berduit dan bangsawan karena hanya menjual barang-barang impor dari Eropa. Kini barang yang diperdagangkan tidaklah barang impor lagi. Namun fungsi rumah toko masih tetap dipertahankan.
Warga Hindia Belanda dan kaum bangsawan banyak yang berkujnung ke Kota Bandung. Mereka biasanya berkumpul di sekitar Jalan Braga atau disebut Pedatiweg dan Asia Afrika. Belum ada mobil waktu itu, kendaraan mewah adalah pedati. Di dua jalan ini pedati lalu lalang mengantarkan bangsawan Belanda dan raja –raja yang ingin menikmati hiburan.
Menurut Harastuti, ada sejumlah lokasi atau gedung yang saat itu berfungsi sebagai bioskop atau lokasi pertunjukan seni. Disekitar alun-alun Bandung, berderet empat gedung bioskop yaitu Elita, Oriental dan Varia yang berderet serta Radio Cyti yang bersebelahan dengan rumah bupati Bandung. Sayangnya setelah kemerdekaan, bangunan bioskop itu dihancurkan dan dijadikan pusat perdagangan , pertokoan dan perkantoran.
Yang tersisa adalah Radio City yang dibangun pada tahun 1930. Sebenarnya biorkop ini sering memutar film nasional, namun dengan semakin suramnya perfilman nasional berdampak pula pada bioskop ini. Sempat ditutup lama, lalu menjadi tempat hiburan malam dan klub bilyard. Aktifitas hiburan malam di gedung ini menjadi lebih dominan.
Selain bioskop, pemerintah Hindia Belanda juga membangun gedung untuk hiburan kelas atas. Lokasinya di Jl Naripan No 7 yang kini menjadi kantor yayasan Pusat Kebudayaan (YPK). Disini bangsawan dan orang Belanda bermain bilyard, main kartu dan minum-minum. Gedung pertunjukan juga dibangun di Jl Braga yang dinamakan Majestic. Gedung ini masih sering digunakan untuk berbagai pagelaran seni atau musik bahkan sering dipakai untuk pesta pernikahan.
Bangunan Cagar Budaya di Kota Bandung-Baru 100 yang Dilindungi Perda
Bandung merupakan kota penting saat pemerintah Hindia Belanda masih menguasai nusantara. Hal itu dapat dilhat dari masih banyaknya peninggalan Hindia Belanda khususnya bangunan gedung atau rumah tinggal yang masih kokoh berdiri. Namun juga banyak pula bangunan yang rusak dan tidak dirawat pemiliknya.
Harastuti, selaku pendiri Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung atau lebih dikenal Bandung Her
itage mengakui kini bangunan sejarah yang ada di Kota Bandung lambat laun telah beralih fungsi.
Banyak bangunan bersejarah kini berubah fungsinya menjadi bangunan bisnis. Ini tidak bisa disalahkan akrena perkembangan Bandung yang sangat cepat. Namun sayangnya ada beberapa yang merubah cirri khas bangunan sehingga merusak arsitektur aslinya.
Di Bandung diperkirakan ada lebih dari 1000 bangunan bersejarah dengan usia minimal 50 tahun. Namun tidak semua bangunan tersebut memiliki sejarah atau silsilahnya sehingga sulit untuk dipelihara keasliannya. Tuti kemudian membuat sebuah buku yang berisi 100 bangunan cagar budaya. Kebetulan 100 bangunan itu kini menjadi benda cagar budaya yang dilindungi perda.
Tetapi jangan disalah artikan, hanya 100 bangunan itu saja yang dilindungi. Sebab diduga masih banyak lagi bangunan cagar budaya lain.
Bangunan cagar budaya sendiri paling banyak terdapat di pusat kota, dengan terkonsentrasi di Jalan Braga, Jalan Asia afrika, dan Jalan Ir H. Djuanda atau Dago.
Pembongkaran bangunan cagar budaya yang paling sering terjadi adalah pada bangunan rumah tinggal. Mungkin karena tuntutan era kapitalisme dimana semua diukur dengan uang sehingga pemiliknya pun menyewakan rumah tersebut. Bangunan itu pun berubah dari fungsi privat menjadi fungsi komersil. Paling banyak terdapat di sepanjang Jalan Dago.
Bandung Haritage, menjadi satu-satunya paguyuban yang perduli dengan kondisi cagar budaya yang ada di Kota Bandung. Harastuti, yang menamatkan S3 di ITB dalam bidang konservasi kawasan dan bangunan cagar budaya menjadi penggagas didirikannya paguyuban ini.
Setelah melakukan penelitian sekitar lima tahun, ia dan juga dibantu sejumlah rekan dan mahasiswa arsitek akhirnya menyelesaikan pembuatan buku yang berisi 100 bangunan cagar budaya di Kota Bandung.
“Dalam perda cagar budaya yang dibuat Pemkot Bandung, masyarakat pasti tidak mengerti betul bangunan mana saja yang masuk cagar budaya. Sehingga saya menerbitkan buku ini lengkap dengan alamt dan foto,” kata Tuti.
Ia menyatakan Bandung penuh dengan bangunan bercitarasa tinggi karena dirancang oleh arsitek terkenal dari Belanda dan Eropa. Namun disayangkan banyak bangunan tersebut yang telah rusak dan berubah fungsinya.
Harastuti, selaku pendiri Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung atau lebih dikenal Bandung Her
itage mengakui kini bangunan sejarah yang ada di Kota Bandung lambat laun telah beralih fungsi.
Banyak bangunan bersejarah kini berubah fungsinya menjadi bangunan bisnis. Ini tidak bisa disalahkan akrena perkembangan Bandung yang sangat cepat. Namun sayangnya ada beberapa yang merubah cirri khas bangunan sehingga merusak arsitektur aslinya.
Di Bandung diperkirakan ada lebih dari 1000 bangunan bersejarah dengan usia minimal 50 tahun. Namun tidak semua bangunan tersebut memiliki sejarah atau silsilahnya sehingga sulit untuk dipelihara keasliannya. Tuti kemudian membuat sebuah buku yang berisi 100 bangunan cagar budaya. Kebetulan 100 bangunan itu kini menjadi benda cagar budaya yang dilindungi perda.
Tetapi jangan disalah artikan, hanya 100 bangunan itu saja yang dilindungi. Sebab diduga masih banyak lagi bangunan cagar budaya lain.
Bangunan cagar budaya sendiri paling banyak terdapat di pusat kota, dengan terkonsentrasi di Jalan Braga, Jalan Asia afrika, dan Jalan Ir H. Djuanda atau Dago.
Pembongkaran bangunan cagar budaya yang paling sering terjadi adalah pada bangunan rumah tinggal. Mungkin karena tuntutan era kapitalisme dimana semua diukur dengan uang sehingga pemiliknya pun menyewakan rumah tersebut. Bangunan itu pun berubah dari fungsi privat menjadi fungsi komersil. Paling banyak terdapat di sepanjang Jalan Dago.
Bandung Haritage, menjadi satu-satunya paguyuban yang perduli dengan kondisi cagar budaya yang ada di Kota Bandung. Harastuti, yang menamatkan S3 di ITB dalam bidang konservasi kawasan dan bangunan cagar budaya menjadi penggagas didirikannya paguyuban ini.
Setelah melakukan penelitian sekitar lima tahun, ia dan juga dibantu sejumlah rekan dan mahasiswa arsitek akhirnya menyelesaikan pembuatan buku yang berisi 100 bangunan cagar budaya di Kota Bandung.
“Dalam perda cagar budaya yang dibuat Pemkot Bandung, masyarakat pasti tidak mengerti betul bangunan mana saja yang masuk cagar budaya. Sehingga saya menerbitkan buku ini lengkap dengan alamt dan foto,” kata Tuti.
Ia menyatakan Bandung penuh dengan bangunan bercitarasa tinggi karena dirancang oleh arsitek terkenal dari Belanda dan Eropa. Namun disayangkan banyak bangunan tersebut yang telah rusak dan berubah fungsinya.
Sabtu, 08 Oktober 2011
Locafore, Jazz Festival Kota Baru Parahyangan
Sebanyak 23 musisi jazz nasional memeriahkan Locafore Art, Design, and Jazz Festival yang berlangsung di Bale Pare Kota Baru Parahyangan Bandung Barat, 23 hingga 25 September 2011.
Sejumlah musisi jazz legendaris yang ikut ambil bagian dalam Locafore antara lain Bubi Chen, Benny Likumahuwa dan Indra Lesmana yang tampil dengan Barry Lukumahua dan Sandy Winarta (LLW).
Pagelaran musik jazz menjadi magnet utama pengunjung di gelaran Locafore . Ada dua panggung yang disediakan bagi penampilan sejumlah musisi jazz.
Penampilan musisi jazz sendiri sudah dimulai Jumat, pukul 14.30 dengan penampilan Starlite, grup band jazz yang terdri dari tiga perempuan. Penampilan Starlite menjadi pembuka awalan Locafore yang mengawinkan konsep pertunjukan musik jazz, pameran produk lokal, dan instalasi patung di luar ruangan.
Pada hari pertama, musisi yang tampil seperti Starlite, Newcitylite, Sister Duke, Maya Hasan The Sound of Light, Jubing Kristianto dan Lala Suwages.
Hari kedua, pada Sabtu (24/9) diisi Hemiola, Tripp, 4sixteenth, Julian Abraham Marantika, The Jongens, Musical Troops, Margie Segers, Andien, Benny Likumahuwa, dan LLW.
Sabtu malam pengunjung Locafore membludak karena ada tiga musisi jazz yang paling ditunggu oleh pengunjung yakni Andien, Benny Likumahua dan LLW yang dimotori Indra Lesmana. Benny Likumahua tampil di stage satu sementara Andien dan LLW tampil di stage dua.
Benny Likumahua dengan saxofonenya dan Bary Likumahua dengan cabikan bass-nya tampil mengiringi Margie Segers. The Lady of Jazz ini tampil dengan menyanyikan lagu The Beatles yang dibalut dengan nuansa jazz. Sejumlah lagu The Beatles yang dinyanyikannya antara lain “Don’t Let Me Down”, “Day After Day”, “Come Together”, “Something” dan “Cant Buy Me Love”.
Penonton yang memadati tempat pertunjukan bukan hanya disuguhi kepiawaian olah vokal The Lady of Jazz, tetapi juga permainan atraktif antara vocal Margie dengan permainan trombone Benny dan cabikan bas Barry.
Dipanggung lainnya Andien membawakan sejumlah lagu hitsnya tidak pernah lepas dari applaus penonton di Bale Pare. Dipanggung yang sama, penampilan penutup malam itu oleh Trio LLW memainkan sejumlah lagu dari album pertama mereka seperti Morning Spirit dan Friday Call.
Ketiga ikon jazz nasional ini tampil sangat kompak membawakan jazz bergenre fusion. Penonton pun nampak menikmati aksi ketiganya dan applaus menggema setiap LLW menyelesaikan pemainannya.
Sementara pada penampilan hari terakhir, Minggu (25/9) diisi oleh Imdi Ensemble, Shadow Puppets Quartet, Esqi, Ade Irawan, Dira Sugandi, Bubi Chen dan Maliq and D'Essentials.
Locafore merupakan pagelaran parade jazz yang kedua kali diselenggarakan di Kota Baru Parahyangan. "Pertunjukan ini gratis. Gratis sejak masuk dan keluar. Masyarakat dibebaskan menonton asalkan tidak melampaui kapasitas karena wilayah panggung akan ditutup," ujar Presiden Direktur Kota Baru Parahyangan, Sanusi Tanawi.
Selain pertunjukan musik jazz, penonton juga bisa mendapat hiburan lain berupa instalasi 11 patung oleh seniman terkemuka Indonesia seperti Teguh Ostenrik, Nus Salomo, Dolorosa Sinaga, maupun I Wayan Sujana. Seniman dengan bentuk yang unik menghiasi halaman Bale Pare di tepi jalan yang menghubungkan dua panggung.
Patung –patung tersebut seolah mengkritisi kondisi masyarakat Indonesia saat ini, seperti instalasi yang menggambarkan minuman bersoda yang sudah menenggelamkan ank-anak. Ada juga patung Spiderman, tokoh superhero, namun dibuat seakan-akan sudah berumur tua dan kegemukan. Spiderman juga mengenakan sarung, seperti kebiasaan orang Indonesia yang sudah berumur.
Selain itu, Kotabaru Parahyangan juga menyiapkan ruang khusus yang memajang 43 produk yang didesain secara eksklusif oleh desainer muda Indonesia.
Sejumlah musisi jazz legendaris yang ikut ambil bagian dalam Locafore antara lain Bubi Chen, Benny Likumahuwa dan Indra Lesmana yang tampil dengan Barry Lukumahua dan Sandy Winarta (LLW).
Pagelaran musik jazz menjadi magnet utama pengunjung di gelaran Locafore . Ada dua panggung yang disediakan bagi penampilan sejumlah musisi jazz.
Penampilan musisi jazz sendiri sudah dimulai Jumat, pukul 14.30 dengan penampilan Starlite, grup band jazz yang terdri dari tiga perempuan. Penampilan Starlite menjadi pembuka awalan Locafore yang mengawinkan konsep pertunjukan musik jazz, pameran produk lokal, dan instalasi patung di luar ruangan.
Pada hari pertama, musisi yang tampil seperti Starlite, Newcitylite, Sister Duke, Maya Hasan The Sound of Light, Jubing Kristianto dan Lala Suwages.
Hari kedua, pada Sabtu (24/9) diisi Hemiola, Tripp, 4sixteenth, Julian Abraham Marantika, The Jongens, Musical Troops, Margie Segers, Andien, Benny Likumahuwa, dan LLW.
Sabtu malam pengunjung Locafore membludak karena ada tiga musisi jazz yang paling ditunggu oleh pengunjung yakni Andien, Benny Likumahua dan LLW yang dimotori Indra Lesmana. Benny Likumahua tampil di stage satu sementara Andien dan LLW tampil di stage dua.
Benny Likumahua dengan saxofonenya dan Bary Likumahua dengan cabikan bass-nya tampil mengiringi Margie Segers. The Lady of Jazz ini tampil dengan menyanyikan lagu The Beatles yang dibalut dengan nuansa jazz. Sejumlah lagu The Beatles yang dinyanyikannya antara lain “Don’t Let Me Down”, “Day After Day”, “Come Together”, “Something” dan “Cant Buy Me Love”.
Penonton yang memadati tempat pertunjukan bukan hanya disuguhi kepiawaian olah vokal The Lady of Jazz, tetapi juga permainan atraktif antara vocal Margie dengan permainan trombone Benny dan cabikan bas Barry.
Dipanggung lainnya Andien membawakan sejumlah lagu hitsnya tidak pernah lepas dari applaus penonton di Bale Pare. Dipanggung yang sama, penampilan penutup malam itu oleh Trio LLW memainkan sejumlah lagu dari album pertama mereka seperti Morning Spirit dan Friday Call.
Ketiga ikon jazz nasional ini tampil sangat kompak membawakan jazz bergenre fusion. Penonton pun nampak menikmati aksi ketiganya dan applaus menggema setiap LLW menyelesaikan pemainannya.
Sementara pada penampilan hari terakhir, Minggu (25/9) diisi oleh Imdi Ensemble, Shadow Puppets Quartet, Esqi, Ade Irawan, Dira Sugandi, Bubi Chen dan Maliq and D'Essentials.
Locafore merupakan pagelaran parade jazz yang kedua kali diselenggarakan di Kota Baru Parahyangan. "Pertunjukan ini gratis. Gratis sejak masuk dan keluar. Masyarakat dibebaskan menonton asalkan tidak melampaui kapasitas karena wilayah panggung akan ditutup," ujar Presiden Direktur Kota Baru Parahyangan, Sanusi Tanawi.
Selain pertunjukan musik jazz, penonton juga bisa mendapat hiburan lain berupa instalasi 11 patung oleh seniman terkemuka Indonesia seperti Teguh Ostenrik, Nus Salomo, Dolorosa Sinaga, maupun I Wayan Sujana. Seniman dengan bentuk yang unik menghiasi halaman Bale Pare di tepi jalan yang menghubungkan dua panggung.
Patung –patung tersebut seolah mengkritisi kondisi masyarakat Indonesia saat ini, seperti instalasi yang menggambarkan minuman bersoda yang sudah menenggelamkan ank-anak. Ada juga patung Spiderman, tokoh superhero, namun dibuat seakan-akan sudah berumur tua dan kegemukan. Spiderman juga mengenakan sarung, seperti kebiasaan orang Indonesia yang sudah berumur.
Selain itu, Kotabaru Parahyangan juga menyiapkan ruang khusus yang memajang 43 produk yang didesain secara eksklusif oleh desainer muda Indonesia.
Bambu World Mussic Festival 2011
Suara mendengung seperti suara ribuan lebah keluar dari alat musik tradisional Jawa Barat “Karinding” mengawali pertunjukan pentas musik dunia World Music Festival Bambu Nusantara 5. Seratus orang seniman yang bergabung dalam kelompok Rahayat Karinding memainkan alat musik bambu tersebut secara bersamaan.
World Music Festival Bambu Nusantara 5 ini kembali diselenggarakan di Sasana Budaya Ganesha Jalan Taman Sari Bandung selama dua hari 1 dan 2 Oktober 2011. Pagelaran festival musik yang terbuat dari bambu ini dibuka oleh Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf dan Direktu Promosi dan Kepariwisataan Kemenbudpar Farid Murtolo, Sabtu petang (1/10).
Kedua pejabat tersebut membuka festival dengan memainkan alat musik tradisional dari Bambu, Celempungan dengan cara dipukul dengan pemukul dari batang bambu. Celempung merupakan alat musik sunda, yang terbuat dari bambu yang dimainkan dengan cara dipukul.
"Saya tiga kali menghadiri acara ini, semuanya tidak lepas dari suasana penuh dengan kreatif dan penuh dengan gagasan, mulai dari awal masuk gedung sudah ada anak bermain sosorodotan dari komunitas hong, ada angklung elektronik yang bisa dimainkan secara elektronik dengan bantuan Ipad dll,” kata Dede Yusuf saat membuka acara.
Sejumlah musisi lokal dan nasional akan meramaikan World Music Festival Bambu Nusantara 5 ini. Acara tahunan ini, akan digelar sampai dengan Minggu (2/10) dengan menghadirkan Samba Sunda, Sawung Jabo, Balawan, Dwiki Darmawan, dan Sarasvati.
Sabtu sore hingga malam, sejumlah musisi secara bergiliran tampil di tiga panggung berbeda. Panggung pun nampak unik karena terbuat dari bambu.
Sejumlah musisi yang tampil antara lain Jatiwangi Art Factori featuring Ary Juliant, Rafli Wa Saja seorang musisi dari Aceh, dan Samba Sunda yang tampil di Dome Sabuga. Di sisi kanan dan kiri panggung juga menyajikan berbagai seni musik dari bambu seperti Arumba yang dimainkan oleh ibu-ibu dari Jepang (Melodi Manis).
Penampilan melodi manis mendapatkan animo sangat bagus dari ratusan penonton yang hadir. Sebab ternyata orang jepang mampu memainkan arumba, alat musik dari bambu. Mereka menyanyikan sejumlah lagu populer dari Jepang. Selain itu anak-anak punk Bandung pun ikut andil dalam pagelaran ini. Mereka menyebut dirinya sebagai Punklung, yakni memainkan musik bergenre punk dengan mamasukan insturmen alat musik bambu.
Sementara pada hari Minggu, sejumlah musisi nasional akan berkolaborasi dengan pemusik lokal yang memainkan alat musik dari bambu. Misalnya Dwiki Darmawan akan berkolaborasi memainkan piano atau organ dengan diiringi musik bambu dari Ozenk Percussion.
Demikian juga Balawan, musisi yang dikenal dengan permainan gitarnya ini akan berkolaborasi dengan seniman Bandung yang memainkan alat musik dari Bambu seperti angklung dll. Festival ini akan ditutup dengan penampilan Sawung Jabo.
Selama dua hari, tidak hanya pagelaran musik yang ditampilkan dalam worksop membuat permainan dari bambu, atau hal lain dari bambu. Selain itu sejumlah kuliner dari rebung (bambu muda) juga dapat dinikmati oleh pengunjung.
Pengunjung juga dapat membeli oleh-oleh berupa mainan untuk anak-anak seperti topeng, angklung dll.
de Syukron, Semarak Pesta Rakyat Jawa Barat
Gedung Sate terbakar! Tetapi bukannya panik, ribuan warga Bandung yang memadati halaman Gedung Sate malahan bertepuk tangan meriah.
Ya, itu adalah aksi penutup dari rangkaian Semarak Pesta Rakyat Jawa Barat untuk memperingati ulang tahun Jawa barat yang ke -66 tahun. Gedung Sate nampak memerah karena terbakar oleh kilatan api yang dipantulkan dari sinar laser membentuk jilatan nyala api. Aksi yang disebut sebagai Video Mapping ini mendapatkan sambutan antusias dari warga Bandung, Sabtu malam pekan lalu.
Video Mapping dimulai sekitar pukul tujuh malam. Suguhan pagelaran yang diakui terbesar pernah dibuat ini berlangsung sekitar 10 menit menyuguhkan tema What a Wonderfull Jabar.
Gadung Sate bagian depan dijadikan layar tancap bagi tembakan sinar laser yang dibuat oleh sebuah event organizer, Sembilan Matahari, diawali dengan tayangan terkait sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di tatar Pasundan.
Gambar warna-warni nampak cerah namun kemudian langsung berubah ketika VOC mulai memasuki Indonesia termasuk memasuki Jawa Barat. Digambarkan VOC memasuki Indonesia melalui lautan dengan kapal besar untuk menjajah.
Penjajahan Belanda di Indonesia juga digambarkan dengan sejumlah pembangunan besar-besaran termasuk di Jawa Barat khususnya Kota Bandung dengan berdirinya beberapa gedung pemerintahan.
Aksi perlawanan terhadap penjajah Belanda juga digambarkan hingga tercapai kemerdekaan setelah berhasil mengusir Belanda. Namun gambar tidak selesai sampai disitu, sebab kemudian muncul pergolakan yang terjadi di Bandung yang dikenal dengan Bandung Lautan Api (BLA).
Pengunjung nampak terpukau ketika nyala api besar mulai mengelilingi Gedung Sate. Tiba-tiba puncak Gedung Sate ambruk. Penonton pun terdiam sejenak karena mengira Gedung Sate benar-benar ambruk akibat kebakaran besar.
Tepuk tangan pengunjung akhirnya menggema setelah kemudian terlihat kembali bahwa Gedung Sate, ikon kebangganan masyarakat Jabar, ternyata masih utuh. Itu hanya permainan Video Mapping saja.
Diakhir pertunjukan tampil sejumlah ikon Jabar diantaranya gambar Jalan Braga dengan gedung-gedung tuanya, jalan layang Pasupati dan logo tim kesayangan Bandung, Persib. Saat logo Persib muncul, tepuk tangan dan teriakan bobotoh kembali menggema.
Creative head Sembilan Matahari Adi Panuntun mengatakan Video Mapping yang dilakukan di Gedung Sate tersebut merupakan yang terbesar pernah dibuat mereka. Sebelumnya aksi serupa pernah dilakukan di Museum Fatahilah Jakarta.
Ia memilih Gedung Sate sebagai latar belakang pertunjukan laser tersebut karena bangunan tersebut sudah menjadi landmark-nya Jabar.
“Bandung Lautan Api menjadi puncak pertunjukan. Sekaligus menunjukan kepada masyarakat Bandung, bahwa pengorbanan yang dilakukan para pejuang sebagai bentuk kekompakan rakyat dalam melawan penjajahan,” ujarnya.
Untuk dapat menghasilkan pertunjukan spektakuler tersebut, ia bersama dengan puluhan pekerja desainer, IT dan seniman mempelajari sejarah terpenting di Bandung. Sejarah panjang kemudian harus bisa dipertontonkan dalam waktu hanya sepuluh menit. “Kami bekerja memerlukan waktu sekitar dua bulan.”
Ia menyatakan video mapping di Gedung Sate bukan merupakan karya terakhir mereka. Dalam waktu dekat video mapping akan dibuat di Hanoi, Vietnam dan London, Inggris.
Pertunjukan yang pertama kali pernah digelar di Jabar ini memang memerlukan biaya tidak sedikit. Berdasarkan informasi dari Badan kordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Jabar, yang merupakan penyandang dana, dibutuhkan dana sekitar 200 juta lebih.
Namun dana tesebut tidak seluruhnya ditanggung oleh pemerintah, sebab ternyata banyak warga yang juga ingin ikut berpartisipasi dalam pembuatan video mapping tersebut. Penyumbang dana itu kemudian diakhir pertunjukan dimunculkan dalam credit title.
A.Heryawan, Gubernur Jawa Barat menyatakan pesta rakyat Jabar dengan video mapping akan diusahakan untuk kembali digelar tahun depan, saat peringatan ulang tahun Jabar yang ke-67.
De Syukron sendiri mendapatkan perhatian dari para negara sahabat dan duta besar yang ikut hadir diantaranya dari China, Prancis, Kroasia, Belanda, Belgia, Jepang dan Korea.
Ya, itu adalah aksi penutup dari rangkaian Semarak Pesta Rakyat Jawa Barat untuk memperingati ulang tahun Jawa barat yang ke -66 tahun. Gedung Sate nampak memerah karena terbakar oleh kilatan api yang dipantulkan dari sinar laser membentuk jilatan nyala api. Aksi yang disebut sebagai Video Mapping ini mendapatkan sambutan antusias dari warga Bandung, Sabtu malam pekan lalu.
Video Mapping dimulai sekitar pukul tujuh malam. Suguhan pagelaran yang diakui terbesar pernah dibuat ini berlangsung sekitar 10 menit menyuguhkan tema What a Wonderfull Jabar.
Gadung Sate bagian depan dijadikan layar tancap bagi tembakan sinar laser yang dibuat oleh sebuah event organizer, Sembilan Matahari, diawali dengan tayangan terkait sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di tatar Pasundan.
Gambar warna-warni nampak cerah namun kemudian langsung berubah ketika VOC mulai memasuki Indonesia termasuk memasuki Jawa Barat. Digambarkan VOC memasuki Indonesia melalui lautan dengan kapal besar untuk menjajah.
Penjajahan Belanda di Indonesia juga digambarkan dengan sejumlah pembangunan besar-besaran termasuk di Jawa Barat khususnya Kota Bandung dengan berdirinya beberapa gedung pemerintahan.
Aksi perlawanan terhadap penjajah Belanda juga digambarkan hingga tercapai kemerdekaan setelah berhasil mengusir Belanda. Namun gambar tidak selesai sampai disitu, sebab kemudian muncul pergolakan yang terjadi di Bandung yang dikenal dengan Bandung Lautan Api (BLA).
Pengunjung nampak terpukau ketika nyala api besar mulai mengelilingi Gedung Sate. Tiba-tiba puncak Gedung Sate ambruk. Penonton pun terdiam sejenak karena mengira Gedung Sate benar-benar ambruk akibat kebakaran besar.
Tepuk tangan pengunjung akhirnya menggema setelah kemudian terlihat kembali bahwa Gedung Sate, ikon kebangganan masyarakat Jabar, ternyata masih utuh. Itu hanya permainan Video Mapping saja.
Diakhir pertunjukan tampil sejumlah ikon Jabar diantaranya gambar Jalan Braga dengan gedung-gedung tuanya, jalan layang Pasupati dan logo tim kesayangan Bandung, Persib. Saat logo Persib muncul, tepuk tangan dan teriakan bobotoh kembali menggema.
Creative head Sembilan Matahari Adi Panuntun mengatakan Video Mapping yang dilakukan di Gedung Sate tersebut merupakan yang terbesar pernah dibuat mereka. Sebelumnya aksi serupa pernah dilakukan di Museum Fatahilah Jakarta.
Ia memilih Gedung Sate sebagai latar belakang pertunjukan laser tersebut karena bangunan tersebut sudah menjadi landmark-nya Jabar.
“Bandung Lautan Api menjadi puncak pertunjukan. Sekaligus menunjukan kepada masyarakat Bandung, bahwa pengorbanan yang dilakukan para pejuang sebagai bentuk kekompakan rakyat dalam melawan penjajahan,” ujarnya.
Untuk dapat menghasilkan pertunjukan spektakuler tersebut, ia bersama dengan puluhan pekerja desainer, IT dan seniman mempelajari sejarah terpenting di Bandung. Sejarah panjang kemudian harus bisa dipertontonkan dalam waktu hanya sepuluh menit. “Kami bekerja memerlukan waktu sekitar dua bulan.”
Ia menyatakan video mapping di Gedung Sate bukan merupakan karya terakhir mereka. Dalam waktu dekat video mapping akan dibuat di Hanoi, Vietnam dan London, Inggris.
Pertunjukan yang pertama kali pernah digelar di Jabar ini memang memerlukan biaya tidak sedikit. Berdasarkan informasi dari Badan kordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Jabar, yang merupakan penyandang dana, dibutuhkan dana sekitar 200 juta lebih.
Namun dana tesebut tidak seluruhnya ditanggung oleh pemerintah, sebab ternyata banyak warga yang juga ingin ikut berpartisipasi dalam pembuatan video mapping tersebut. Penyumbang dana itu kemudian diakhir pertunjukan dimunculkan dalam credit title.
A.Heryawan, Gubernur Jawa Barat menyatakan pesta rakyat Jabar dengan video mapping akan diusahakan untuk kembali digelar tahun depan, saat peringatan ulang tahun Jabar yang ke-67.
De Syukron sendiri mendapatkan perhatian dari para negara sahabat dan duta besar yang ikut hadir diantaranya dari China, Prancis, Kroasia, Belanda, Belgia, Jepang dan Korea.
Braga Festival dari Tahun ke Tahun @ 2011
Dari seni tradisional hingga Band indie
Braga Festival yang baru berlangsung dari tanggal 23 hingga 25 September diawali dengan pawai “bebegig” atau pawai hantu-hantu sawah sehari sebelum pelaksanaan. Rtusan warga dan masyarakat mengarak para bebegig itu mulai dari Balaikota Bandung hingga menuju ke Braga.
Jumat malam sekitar pukul 20.00 WIB, Walikota Bandung Dada Rosada lalu membuka Braga Festival diareal pesawahan padi yang sengaja dibuat panitia. Lokasinya didepan gedung Sarinah yang kondisinya sudah rudak dan kotor tak terurus.
Usai dibuka, warga Bandung pun mulai memadati areal Braga untuk menikmati sejumlah pertunjukan seni. Semalam suntuk pagelaran seni tradisional Tarawangsa dari Cikalong Kab. Sumedang cukup menghibur warga yang hadir.
Keesokan harinya, Braga Festival yang mulai dibuka pukul 09.00 kembali menggeliat dengan aktifita seni dari para seniman Bandung. Braga Festival ternyata bukan hanya milik anak muda saja, sebab seniman dari berbagai usia ikut ambil bagian dalam acara ini.
Memasuki festival dari pintu masuk Jalan Asia Afrika pengunjung akan disambut dengan pameran foto berukuran besar yang memotret perilaku orang gila. Pameran ini ingin menunjukan bahwa ternyata banyak orang yang tidak beruntung di Kota Bandung seperti mereka.
Pameran foto tersebut memang agak menggangu bagi kebanyakan pengunjung, karena selain menunjukan kondisi fisik orang gila yang kotor juga terlalu fulgar. Pengunjung juga akan disambut oleh beberapa bebegig yang nampang disepanjang koridor jalan Braga.
Disini juga ada stand yang banyak dikunjungi yakni Jajanan Jadoel. Jajanan yang dijual disini memang unik dan sulit ditemukan saat ini. Seperti permen gulali, permen kayu, jenang Bandung hingga Koya, makanan ringan dari sagu.
Masuk kedalam menuju ke persimpangan Naripan- Braga, beberapa aksi seni tampil dipanggung berukuran pendek dengant inggi hanya setengah meter berukuran 5x3 meter. Beberapa musisi yang tampil di panggung ini adalah musisi tradisional seperti bobodoran dll.
Pengunjung nampak lebih padat di sepanjang Braga panjang antara Naripan hingga Braga City Walk. Pintu masuk dibuat cukup unik dengan menggunakan instalasi bambu mengerucut membentuk sebuah pintu masuk. Pengunjung akan langsung disambut dengan pameran foto yang dibuat oleh Wartawan Foto Bandung (WFB) mengambil tema suasana Bandung terkini.
Di jalan tersebut ada dua panggung, salah satu digunakan oleh komunitas Drumer Bandung serta Gitaris Bandung. Mereka ikut ambil bagian dengan memainkan keahlian mereka memukul drum dan memetik gitar. Ajang ini selain sebagai bentuk apresiasi “unjuk kabisa” juga sebegai upaya untuk menjaring anggota baru komunitas mereka.
Nampak agak unik , sejumlah musisi berumur juga nampak asyik bermain musik dengan tembang lawas berbahasa Sunda, mereka adalah kelompok Suara Midle Age Community. Komunitas ini juga aktif manggung setiap Senin, Rabu dan Kamis di Braga City Walk.
Ditengah padatnya lalu-lalang pengunjung, beberapa remaja nampak tidak canggung dengan busana mirip tokoh film kartun Jepang. Aksi Harajuku dan Cost play mereka banyak diminati oleh pengunung untuk diajak foto bareng.
Direktur Eksekutif Braga Festival 2011 Diro Aritonang tema Balik Bandung menjadi tema Braga Festival tahun ini. Yang berarti Braga Festival kali ini dipastikan benar-benar milik orang Bandung.
Secara garis besar, Braga Festival 2011 yang dilaksanakan bertepatan dengan Hari Jadi Kota Bandung ke-201 ini mengelar beberapa jenis kegiatan seperti pagelaran seni tradisional hingga musik komtemporer serta pameran produk kreatif dari kriya sampai, batik, produk FO dan kuliner.
Salah satu pagelaran musik yang menarik dalam Braga Festival kali ini adalah "Bandung Legend". Acara itu akan menampilkan sedikitnya 42 musisi legenda asal Kota Bandung yang pernah berjaya pada masanya.
Acara ini akan mengingatkan kembali dan menyambung sejarah yang sempat terputus kepada generasi baru bahwa Bandung adalah barometer musik Indonesia yang melahirkan segudang musisi handal di negeri ini.
Sementara di Cikapundung Timur puluhan Band Indie juga mendapatkan kesempatan untuk menunjukan kebolehan mereka. Bandung memang tidak akan habis menelorkan musisi nasional yang berawal dari band-band indie.
Braga Festival yang baru berlangsung dari tanggal 23 hingga 25 September diawali dengan pawai “bebegig” atau pawai hantu-hantu sawah sehari sebelum pelaksanaan. Rtusan warga dan masyarakat mengarak para bebegig itu mulai dari Balaikota Bandung hingga menuju ke Braga.
Jumat malam sekitar pukul 20.00 WIB, Walikota Bandung Dada Rosada lalu membuka Braga Festival diareal pesawahan padi yang sengaja dibuat panitia. Lokasinya didepan gedung Sarinah yang kondisinya sudah rudak dan kotor tak terurus.
Usai dibuka, warga Bandung pun mulai memadati areal Braga untuk menikmati sejumlah pertunjukan seni. Semalam suntuk pagelaran seni tradisional Tarawangsa dari Cikalong Kab. Sumedang cukup menghibur warga yang hadir.
Keesokan harinya, Braga Festival yang mulai dibuka pukul 09.00 kembali menggeliat dengan aktifita seni dari para seniman Bandung. Braga Festival ternyata bukan hanya milik anak muda saja, sebab seniman dari berbagai usia ikut ambil bagian dalam acara ini.
Memasuki festival dari pintu masuk Jalan Asia Afrika pengunjung akan disambut dengan pameran foto berukuran besar yang memotret perilaku orang gila. Pameran ini ingin menunjukan bahwa ternyata banyak orang yang tidak beruntung di Kota Bandung seperti mereka.
Pameran foto tersebut memang agak menggangu bagi kebanyakan pengunjung, karena selain menunjukan kondisi fisik orang gila yang kotor juga terlalu fulgar. Pengunjung juga akan disambut oleh beberapa bebegig yang nampang disepanjang koridor jalan Braga.
Disini juga ada stand yang banyak dikunjungi yakni Jajanan Jadoel. Jajanan yang dijual disini memang unik dan sulit ditemukan saat ini. Seperti permen gulali, permen kayu, jenang Bandung hingga Koya, makanan ringan dari sagu.
Masuk kedalam menuju ke persimpangan Naripan- Braga, beberapa aksi seni tampil dipanggung berukuran pendek dengant inggi hanya setengah meter berukuran 5x3 meter. Beberapa musisi yang tampil di panggung ini adalah musisi tradisional seperti bobodoran dll.
Pengunjung nampak lebih padat di sepanjang Braga panjang antara Naripan hingga Braga City Walk. Pintu masuk dibuat cukup unik dengan menggunakan instalasi bambu mengerucut membentuk sebuah pintu masuk. Pengunjung akan langsung disambut dengan pameran foto yang dibuat oleh Wartawan Foto Bandung (WFB) mengambil tema suasana Bandung terkini.
Di jalan tersebut ada dua panggung, salah satu digunakan oleh komunitas Drumer Bandung serta Gitaris Bandung. Mereka ikut ambil bagian dengan memainkan keahlian mereka memukul drum dan memetik gitar. Ajang ini selain sebagai bentuk apresiasi “unjuk kabisa” juga sebegai upaya untuk menjaring anggota baru komunitas mereka.
Nampak agak unik , sejumlah musisi berumur juga nampak asyik bermain musik dengan tembang lawas berbahasa Sunda, mereka adalah kelompok Suara Midle Age Community. Komunitas ini juga aktif manggung setiap Senin, Rabu dan Kamis di Braga City Walk.
Ditengah padatnya lalu-lalang pengunjung, beberapa remaja nampak tidak canggung dengan busana mirip tokoh film kartun Jepang. Aksi Harajuku dan Cost play mereka banyak diminati oleh pengunung untuk diajak foto bareng.
Direktur Eksekutif Braga Festival 2011 Diro Aritonang tema Balik Bandung menjadi tema Braga Festival tahun ini. Yang berarti Braga Festival kali ini dipastikan benar-benar milik orang Bandung.
Secara garis besar, Braga Festival 2011 yang dilaksanakan bertepatan dengan Hari Jadi Kota Bandung ke-201 ini mengelar beberapa jenis kegiatan seperti pagelaran seni tradisional hingga musik komtemporer serta pameran produk kreatif dari kriya sampai, batik, produk FO dan kuliner.
Salah satu pagelaran musik yang menarik dalam Braga Festival kali ini adalah "Bandung Legend". Acara itu akan menampilkan sedikitnya 42 musisi legenda asal Kota Bandung yang pernah berjaya pada masanya.
Acara ini akan mengingatkan kembali dan menyambung sejarah yang sempat terputus kepada generasi baru bahwa Bandung adalah barometer musik Indonesia yang melahirkan segudang musisi handal di negeri ini.
Sementara di Cikapundung Timur puluhan Band Indie juga mendapatkan kesempatan untuk menunjukan kebolehan mereka. Bandung memang tidak akan habis menelorkan musisi nasional yang berawal dari band-band indie.
Braga Festival yang Memanjakan Penikmat Seni
Sebuah Festival yang Memanjakan Seniman
Braga Festival adalah even lokal di Kota Bandung yang meng-international. Pemerintah Kota Bandung secara rutin menggelar Braga Festival sejak tahun 2005. Even ini menjadi ritual seni dan budaya Bandung yang sangat dinantikan setiap tahunnya.
Braga Festival diselenggarakan sebagai upaya untuk menghidupkan Jalan Braga yang secara historis pernah mendapat julukan sebagai "De meest Europeessche winkel straat van Indie" (Jalan Perbelanjaan Bangsa Eropa Terkemuka Di Seluruh Hindia Belanda). Kini jalan braga merupakan kawasan open heritage sekaligus bisnis di Kota Bandung yang memiliki daya tarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Sejak tahun 2005, Braga Festival, gelaran festival rakyat dan seniman ini digelar di sepanjang Jalan Braga Kota Bandung selalu dilaksanakan menjelang akhir tahun, yakni tiga hari terakhir pada bulan Desember. Namun Braga Festival yang diselenggarakan tahun ini memang berbeda.
Braga Festival tahun 2011, dilaksanakan pada tanggal 23 hingga 25 September. Festival seni dan budaya yang rutin diselenggarakan setiap tahun di Kota Bandung tahun ini juga lebih meriah dibandingkan pada gelaran tahun sebelumnya.
Jika melihat pagelaran ini dari tahun ketahun , setiap tahunnya selalu ada tema berbeda yang diusung. Misalnya saja pada awal gelaran tahun 2005, Bulan Desember pagelaran ini menampilkan sejumlah atraksi seni dan budaya yang cenderung serius. Komunitas kampus di Bandung mayoritas mengisi gelaran ajang seni dan budaya jalanan ini.
Bukan itu saja, sejumlah seniman luar Bandung seperti dari Majalengka dan Sumedang ikut mengisi Braga Festival yang pertama. Sambutan masyarakat saat itu sangat meriah, karena kegiatan seni dan budaya ini menjadi penerus Dago Festoval yang mandeg sejak tahun 2004.
Pada tahun 2006, Braga Festival kedua diselengarakan selama tiga hari pada tanggal 27 hingga 29 Desember. Berbeda dengan kegiatan tahun sebelumnya, Braga Festival tahun ini mengambil konsep lingkungan dan menumbuhkan kepedulian terhadap tanaman bamboo.
Bambu sebagai tema utama, terkait dengan potensi tanaman tersebut di Indonesia, khususnya Jawa Barat. Alasannya , sebanyak 95 dari 105 jenis bambu di Indonesia berada di Jabar. Saat itu memang lebih dominan suasana bambu mengisi gelaran Braga Festival. Saung Angklung Udjo menjadi aktor uatam pagelaran tahun itu.
Animo masyarakat dan wisatawan lokal ataupun asing yang hadir dalam gelaran Braga Festival membuat Pemkot Bandung dan Jawa Barat kembali melanjutkantradisi gelaran seni dan budaya jalanan di salah satu jalan bersejarah Kota Bandung ini.
Kebetulan saat itu pemerintah juga sedang gencar melakukan promosi pariwisata dengan slogannya Visit Indonesia Year (VIY) 2008. Saat itu Braga Festival digelar pada tanggal 29 Desember hingga malam pergantian tahun 2008.
Braga Festival yang berlangsung tahun 2007 lebih banyak “dikuasai” oleh Pemprov Jawa Barat , partisipasi dari Pemkot Bandung pun mulai berkurang.
Acara seremonial dibuka oleh Gubernur Jabar saat itu Danny Setiawan dengan iring-iringan pawai sepeda onthel yang mengenakan kostum gaya Demang, Bupati pasundan pada jaman Kolonial.
Sayangnya gelaran tahun 2007 kurang greget karena tidak digelar oleh event organizer professional seperti pada pelaksanaan dua tahun sebelumnya. Braga Festivalpun hanya di Jalan Braga pendek yakni antara persimpangan Asia Afrika hingga Naripan.
Braga Festival 2007 lebih terasa sebagai festival kuliner jalanan dan clothing sehingga tidak terlalu jelas ciri khas Bandung. Pengunjungnya pun mulai berkurang.
Pada tahun 2008, Braga Festival diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat pada tanggal 30-31 Desember. Saat itu diambil tema “Bihari, Kiwari, Buringsupagiyang” (Bahasa Sunda yang artinya: masa lalu, masa kini, masa yang akan datang). Tema itu mengusung banyak penampilan peninggalan “jadul” selama gelaran.
Braga Festival kembali menggunakan seluruh lajur jalan Braga. Jalan Braga bagian selatan atau persimpangan Asia Afrika hingga Naripan diisi bagi stand-stand dan stage yang mengangkat tema etnik, tradisional, dan masa lalu. Sedangkan Kawasan Jalan Braga bagian utara, mulai dari Naripan hingga Braga City Walk diisi stand-stand dan stage yang mengangkat tema kekinian dan masa yang akan datang.
Menyesuaikan dengan tema yang diangakat oleh penyelenggara Braga Festival 2008, stand Kab Aleut dipersiapkan dengan konsep “Mesin Waktu”. Para pengunjung yang datang ke stand Klab aleut diajak untuk memasuki ruangan yang dikemas layaknya sebuah ruangan masa lalu dengan menampilkan foto-foto kehidupan dan objek-objek bangunan masa lalu.
Tema yang diusung memang membuat masyarakat kagum, karena ternyata banyak peninggalan sejarah yang berusia tua yang masih tersimpan rapi. Banyak turis Belanda yang juga terkagum-kagum melihat koleksi buku Indische Tuinbloemen (Van Dorp, 1940) dan Vetplanten (Uitgave Verkade’s Fabrieken, 1932). Namun pengunjung masih belum sebagus saat awal Braga Festival dimulai.
Braga Festival tahun 2009 juga kembali diselenggarakan menjelang pergantian tahun 2010 dari tanggal 27 hingga 30 Desember. Saat itu mengambil tema “Wujud Cinta Braga Kreatif” dan menampilkan berbagai seni dan kebudayaan lebih modern seperti pagelaran band pop, rock hingga musik alternatif.
Sejumlah seniman Jawa Barat pun ikut mengisi acara seperti Doel Sumbang, Gugun Gumbira dan Nano S. Konser musik mulai mengisi kegiatan ini dan sejumlah artis asli Bandung pun menjadikan ajang ini sebagai reunian.
Pagelaran Braga Festival yang keenam kembali digelar pada akhir Bulan Desember 2010. Art For Solidarity menjadi tema kegiatan seni ini. Tujuannya untuk mengembalikan kawasan jalan Braga sebagai kawasan bersejarah dengan bangunan art deco-nya. Selain atraksi seni, workshop dan seminar mulai mengisi kegiatan ini. Charly vokalis ST12 menjadi salah satu duta yang digadang-gadang mampu mengundang jumlah pengunjung Braga Festival tahun 2010.
Braga Festival 2011 yang baru berakhir pekan lalu kembali hadir dengan tema berbeda "Balik Bandung". Namun berbeda daritahun sebelumnya, kali ini tidak diselengarakan diakhir tahun. Penyelenggaraannya bertepatan dengan peringatan HUT Kota Bandung ke-2001 tahun.
Selain menggelar sejumlah kegiatan seni dan budaya serta pameran foto di Jalan Braga, sejumlah band indie juga meramaikan kegiatan tersebut, mengambil lokasi di Cikapundung Timur.
Penyelenggaraan tahun ini terbilang lebih meriah dan lebih banyak mngundang pengunjung. Ada atrakso seni, sulap, fashion show, pameran seni rupa dan sastra, pagelaran musik tradisional dan kontemporer (Pop, Keroncong, balada, Rock, Rock'n Roll, blues, Jazz, alternatif, World music, hingga musik Indie).
Braga Festival adalah even lokal di Kota Bandung yang meng-international. Pemerintah Kota Bandung secara rutin menggelar Braga Festival sejak tahun 2005. Even ini menjadi ritual seni dan budaya Bandung yang sangat dinantikan setiap tahunnya.
Braga Festival diselenggarakan sebagai upaya untuk menghidupkan Jalan Braga yang secara historis pernah mendapat julukan sebagai "De meest Europeessche winkel straat van Indie" (Jalan Perbelanjaan Bangsa Eropa Terkemuka Di Seluruh Hindia Belanda). Kini jalan braga merupakan kawasan open heritage sekaligus bisnis di Kota Bandung yang memiliki daya tarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Sejak tahun 2005, Braga Festival, gelaran festival rakyat dan seniman ini digelar di sepanjang Jalan Braga Kota Bandung selalu dilaksanakan menjelang akhir tahun, yakni tiga hari terakhir pada bulan Desember. Namun Braga Festival yang diselenggarakan tahun ini memang berbeda.
Braga Festival tahun 2011, dilaksanakan pada tanggal 23 hingga 25 September. Festival seni dan budaya yang rutin diselenggarakan setiap tahun di Kota Bandung tahun ini juga lebih meriah dibandingkan pada gelaran tahun sebelumnya.
Jika melihat pagelaran ini dari tahun ketahun , setiap tahunnya selalu ada tema berbeda yang diusung. Misalnya saja pada awal gelaran tahun 2005, Bulan Desember pagelaran ini menampilkan sejumlah atraksi seni dan budaya yang cenderung serius. Komunitas kampus di Bandung mayoritas mengisi gelaran ajang seni dan budaya jalanan ini.
Bukan itu saja, sejumlah seniman luar Bandung seperti dari Majalengka dan Sumedang ikut mengisi Braga Festival yang pertama. Sambutan masyarakat saat itu sangat meriah, karena kegiatan seni dan budaya ini menjadi penerus Dago Festoval yang mandeg sejak tahun 2004.
Pada tahun 2006, Braga Festival kedua diselengarakan selama tiga hari pada tanggal 27 hingga 29 Desember. Berbeda dengan kegiatan tahun sebelumnya, Braga Festival tahun ini mengambil konsep lingkungan dan menumbuhkan kepedulian terhadap tanaman bamboo.
Bambu sebagai tema utama, terkait dengan potensi tanaman tersebut di Indonesia, khususnya Jawa Barat. Alasannya , sebanyak 95 dari 105 jenis bambu di Indonesia berada di Jabar. Saat itu memang lebih dominan suasana bambu mengisi gelaran Braga Festival. Saung Angklung Udjo menjadi aktor uatam pagelaran tahun itu.
Animo masyarakat dan wisatawan lokal ataupun asing yang hadir dalam gelaran Braga Festival membuat Pemkot Bandung dan Jawa Barat kembali melanjutkantradisi gelaran seni dan budaya jalanan di salah satu jalan bersejarah Kota Bandung ini.
Kebetulan saat itu pemerintah juga sedang gencar melakukan promosi pariwisata dengan slogannya Visit Indonesia Year (VIY) 2008. Saat itu Braga Festival digelar pada tanggal 29 Desember hingga malam pergantian tahun 2008.
Braga Festival yang berlangsung tahun 2007 lebih banyak “dikuasai” oleh Pemprov Jawa Barat , partisipasi dari Pemkot Bandung pun mulai berkurang.
Acara seremonial dibuka oleh Gubernur Jabar saat itu Danny Setiawan dengan iring-iringan pawai sepeda onthel yang mengenakan kostum gaya Demang, Bupati pasundan pada jaman Kolonial.
Sayangnya gelaran tahun 2007 kurang greget karena tidak digelar oleh event organizer professional seperti pada pelaksanaan dua tahun sebelumnya. Braga Festivalpun hanya di Jalan Braga pendek yakni antara persimpangan Asia Afrika hingga Naripan.
Braga Festival 2007 lebih terasa sebagai festival kuliner jalanan dan clothing sehingga tidak terlalu jelas ciri khas Bandung. Pengunjungnya pun mulai berkurang.
Pada tahun 2008, Braga Festival diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat pada tanggal 30-31 Desember. Saat itu diambil tema “Bihari, Kiwari, Buringsupagiyang” (Bahasa Sunda yang artinya: masa lalu, masa kini, masa yang akan datang). Tema itu mengusung banyak penampilan peninggalan “jadul” selama gelaran.
Braga Festival kembali menggunakan seluruh lajur jalan Braga. Jalan Braga bagian selatan atau persimpangan Asia Afrika hingga Naripan diisi bagi stand-stand dan stage yang mengangkat tema etnik, tradisional, dan masa lalu. Sedangkan Kawasan Jalan Braga bagian utara, mulai dari Naripan hingga Braga City Walk diisi stand-stand dan stage yang mengangkat tema kekinian dan masa yang akan datang.
Menyesuaikan dengan tema yang diangakat oleh penyelenggara Braga Festival 2008, stand Kab Aleut dipersiapkan dengan konsep “Mesin Waktu”. Para pengunjung yang datang ke stand Klab aleut diajak untuk memasuki ruangan yang dikemas layaknya sebuah ruangan masa lalu dengan menampilkan foto-foto kehidupan dan objek-objek bangunan masa lalu.
Tema yang diusung memang membuat masyarakat kagum, karena ternyata banyak peninggalan sejarah yang berusia tua yang masih tersimpan rapi. Banyak turis Belanda yang juga terkagum-kagum melihat koleksi buku Indische Tuinbloemen (Van Dorp, 1940) dan Vetplanten (Uitgave Verkade’s Fabrieken, 1932). Namun pengunjung masih belum sebagus saat awal Braga Festival dimulai.
Braga Festival tahun 2009 juga kembali diselenggarakan menjelang pergantian tahun 2010 dari tanggal 27 hingga 30 Desember. Saat itu mengambil tema “Wujud Cinta Braga Kreatif” dan menampilkan berbagai seni dan kebudayaan lebih modern seperti pagelaran band pop, rock hingga musik alternatif.
Sejumlah seniman Jawa Barat pun ikut mengisi acara seperti Doel Sumbang, Gugun Gumbira dan Nano S. Konser musik mulai mengisi kegiatan ini dan sejumlah artis asli Bandung pun menjadikan ajang ini sebagai reunian.
Pagelaran Braga Festival yang keenam kembali digelar pada akhir Bulan Desember 2010. Art For Solidarity menjadi tema kegiatan seni ini. Tujuannya untuk mengembalikan kawasan jalan Braga sebagai kawasan bersejarah dengan bangunan art deco-nya. Selain atraksi seni, workshop dan seminar mulai mengisi kegiatan ini. Charly vokalis ST12 menjadi salah satu duta yang digadang-gadang mampu mengundang jumlah pengunjung Braga Festival tahun 2010.
Braga Festival 2011 yang baru berakhir pekan lalu kembali hadir dengan tema berbeda "Balik Bandung". Namun berbeda daritahun sebelumnya, kali ini tidak diselengarakan diakhir tahun. Penyelenggaraannya bertepatan dengan peringatan HUT Kota Bandung ke-2001 tahun.
Selain menggelar sejumlah kegiatan seni dan budaya serta pameran foto di Jalan Braga, sejumlah band indie juga meramaikan kegiatan tersebut, mengambil lokasi di Cikapundung Timur.
Penyelenggaraan tahun ini terbilang lebih meriah dan lebih banyak mngundang pengunjung. Ada atrakso seni, sulap, fashion show, pameran seni rupa dan sastra, pagelaran musik tradisional dan kontemporer (Pop, Keroncong, balada, Rock, Rock'n Roll, blues, Jazz, alternatif, World music, hingga musik Indie).
Langganan:
Postingan (Atom)