Sejumlah bangunan cagar budaya di kawasan wisata belanja ini sebagian besar memang masih mempertahankan kondisi asli. Namun itu hanya dibagian luar bangunan saja. Dibagian dalam, penyewa rumah bebas mengatur atau membongkar bangunan sesuai dengan kebutuhan. Misalnya rumah tinggal yang di jadikan butik atau FO, resto bahkan menjadi hotel.
Bangunan cagar budaya di Kota Bandung sangat layak unt
uk dipertahankan. Selain nilai sejarahnya, bangunan tersebut juga menunjukan hasilkarya sejumlah arsitek seperti Schoemaker bersaudara, A.F Aalbers, Gerber, Gijsel dan termasuk Soekarno.
Bangunan cagar budaya di Kota Bandung jika ditelisik lebih dalam akan diketahui bahwa sebagian diantaranya memang dibangun untuk menjadi pusat bisnis kala itu.
Gedung pensil di Jl A. Yani-Gatot Subroto Nomor 1 kini menjadi kantor Danareksa, perusahaan sekuritas nasional. Bangunan ini dibangun pada tahun 1928 untuk kantor dagang pada zamannya. Lokasinya sangat strategis , terletak di simpang lima sebagai kawasan pusat perdagangan. Bangunan ini jarang terlihat karena posisinya persis berada di pojok jalan antara Gatot Subroto dengan A. Yani yang hanya dilalui kendaraan satu arah.
Gedung ini dinamakan Gedung Pensil karena menilik dari atapnya yang berbentuk bundar dan lancip diujung tengahnya seperti sebuah pensil yang sudah diraut. Bangunan terdiri dari dua lantai dengan gaya arsitektur Eropa yang begitu kental. Dilihat dari bentuk jendela yang besar memanjang tegak lurus.
Gedung ini pernah menjadi pusat kantor Handel Mij. Groote & Scholtz, agen Dunlop dan minyak pelumas Shell. Kini bangunan tersebut digunakan Danareksa. Perubahan penghuni ternyata juga merubah interior didalam gedung, meski bangunan ini menjadi lebih tertata rapi.
Selain Gedung Pensil, bangunan cagar budaya yang hingga kini menjadi pusat bisnis adalah Ex Insulinde di Jl Braga No 135. pada awal dibangun tahun 1921 fungsi utama bangunan ini adalah sebagai pabrik oli yang dirancang arsitek C.P.W Schoemaker dan selesai pada tahun 1924. gaya Art Deco sangat lekat pada bangunan ini. Yang menarik adalah adanya kap lampu terbuta dari perunggu yang ditempatkan di kolom persegi empat di bagian depan bangunan. Hingga kini lampu tersebut masih menyala jika malam hari.
Bangunan ini beberapa kali berubah fungsi, daripabrik oli, lalu menjadi kantor karisidenan Priangan hingga Polwiltabes Bandung. Sempat juga menjadi FO dan sekolah taman kanak-kanak. Saat menjadi sekolah, jendela gedung dicat warna-warni cerah. Kini bangunan ini kembali menjadi pusat bisnis, setelah menjadi kantor pusat Bank BJB Syariah. Bangunan pun dicat putih bersih seperti kondisi aslinya.
Pemerintah Kota Bandung sepertinya berkomitmen untuk menyewakan bangunan cagar budaya sesuai fungsinya pada saat pertama kali dibangun. Selain Gedung Pensil dan Insulinde, gedung De Eerste Nederlandsch-Indische en Hypotheekbank (DENIS) yang menjadi bank Hindia Belanda dan kantor perusahaan asuransi yang didirikan Sam Ratulangi kini tetap berfungsi sebagai bank. (Bank BJB).
Kantor Pos Besar di Jl Asia Afrika juga sampai hari ini masih tetap berdiri kokoh seperti aslinya saat dibangun oleh arsitek J. Van Gendt. Didepan kantor pos juga masih terdapat bis surat yang asli dengan jelas masih tertulis Brievenbus (bis surat). Saat perang kemerdekaan gedung pos ini pernah dibom namun hanya interiornya saja yang rusak dan hangus terbakar, sementara gedung kokoh berdiri hingga saat ini.
Gedung PLN di Jalan Cikapundung juga sejak dulu masih menjadi kantor pengatur listrik. Didirikan tahun 1933 menjadi kantor aNV GEBEO (perusahaan lsitrik pada jaman Belanda). Saat Jang menjajah , gedung ini tetap menjadi kantor distribusi listrik dan saat ini gedung tersebut menjadi kantor pusat PT PLN Distribusi Jabar dan Banten.
Pemerintah Hindia Belanda pada jamannya juga tidak lupa membangun pusat perdagangan, Centre Point. Gedung rumah toko (ruko) ini bersambung dengan Landmark di Jalan Braga yang kini sering digunakan sebagai venue untuk pameran.
Centre point dibangun sejak tahun 1925 yang digunakan sebagai ruko. Centre point merupakan bangunan deret (ensamble) yang terletak di sudut. Dahulu , menjadi pusat belanja orang berduit dan bangsawan karena hanya menjual barang-barang impor dari Eropa. Kini barang yang diperdagangkan tidaklah barang impor lagi. Namun fungsi rumah toko masih tetap dipertahankan.
Warga Hindia Belanda dan kaum bangsawan banyak yang berkujnung ke Kota Bandung. Mereka biasanya berkumpul di sekitar Jalan Braga atau disebut Pedatiweg dan Asia Afrika. Belum ada mobil waktu itu, kendaraan mewah adalah pedati. Di dua jalan ini pedati lalu lalang mengantarkan bangsawan Belanda dan raja –raja yang ingin menikmati hiburan.
Menurut Harastuti, ada sejumlah lokasi atau gedung yang saat itu berfungsi sebagai bioskop atau lokasi pertunjukan seni. Disekitar alun-alun Bandung, berderet empat gedung bioskop yaitu Elita, Oriental dan Varia yang berderet serta Radio Cyti yang bersebelahan dengan rumah bupati Bandung. Sayangnya setelah kemerdekaan, bangunan bioskop itu dihancurkan dan dijadikan pusat perdagangan , pertokoan dan perkantoran.
Yang tersisa adalah Radio City yang dibangun pada tahun 1930. Sebenarnya biorkop ini sering memutar film nasional, namun dengan semakin suramnya perfilman nasional berdampak pula pada bioskop ini. Sempat ditutup lama, lalu menjadi tempat hiburan malam dan klub bilyard. Aktifitas hiburan malam di gedung ini menjadi lebih dominan.
Selain bioskop, pemerintah Hindia Belanda juga membangun gedung untuk hiburan kelas atas. Lokasinya di Jl Naripan No 7 yang kini menjadi kantor yayasan Pusat Kebudayaan (YPK). Disini bangsawan dan orang Belanda bermain bilyard, main kartu dan minum-minum. Gedung pertunjukan juga dibangun di Jl Braga yang dinamakan Majestic. Gedung ini masih sering digunakan untuk berbagai pagelaran seni atau musik bahkan sering dipakai untuk pesta pernikahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar